Pertama kalinya ku mengalami sesak nafas saat acara pendakian ke puncak Gunung Lawu beserta 14 rombongan anggota wapenala [sisWa PENcinta ALAm SMUN 5] tahun 2001 silam. Malam semakin larut, sudah 7 jam lamanya kami mendaki, beberapa teman perempuan sudah tak sanggup meneruskan pendakian. Kami akhirnya sepakat membuka camp di sebuah dataran sempit dibalik sebuah batu besar. Hanya ada dua tenda besar yang masing-masing berkapasitas 4 – 5 orang dewasa. Aku bersandar di balik batu besar itu mencoba untuk tidur. Baju kami sudah basah oleh gerimis sejak tadi sore. Entah Tami atau Nila aku sudah tak ingat, membagikan beberapa teguk kopi hangat untuk melawan hawa dingin. Mendekati pukul 1 dini hari dadaku mulai merasa tak nyaman. Aku menarik nafas dalam-dalam namun seakan sia-sia. Sepertinya udara enggan memasuki rongga dada. Berkali-kali aku menarik nafas kuat-kuat tapi tak jua kurasakan aliran sejuk udara memenuhi rongga pernafasan. Seolah bernafas di ruang hampa udara ? Kemudian ada rasa nyeri setiap kali aku menarik nafas.
Aku membangunkan Tami atau Nila, tapi sepertinya yang aku membangunkan Tami, untuk minta obat sesak nafas. Aku sesak nafas untuk yang pertamakali dalam semumur hidup. Sudah dua butir obat sesak nafas aku telan tapi rasa nyeri dan megap-megap kekurangan udara ini tak kunjung reda. Aku meminta sebutir lagi tapi Tami melarang. Katanya, aku bisa mati overdosis ? Rasanya aneh juga membayangkan jika aku mati di tempat seperti ini. Mundur justru lebih berbahaya daripada terus naik. Karena, konon, di puncak Gunung Lawu sudah dibangun restoran dan puskesmas alakadarnya. Kita bisa memesan indomie telur dan nonton televise di sana. Akhirnya rekan-rekan menyuruhku tidur dalam tenda, aku menurut saja, daripada tersiksa begini ?
Aku membangunkan Tami atau Nila, tapi sepertinya yang aku membangunkan Tami, untuk minta obat sesak nafas. Aku sesak nafas untuk yang pertamakali dalam semumur hidup. Sudah dua butir obat sesak nafas aku telan tapi rasa nyeri dan megap-megap kekurangan udara ini tak kunjung reda. Aku meminta sebutir lagi tapi Tami melarang. Katanya, aku bisa mati overdosis ? Rasanya aneh juga membayangkan jika aku mati di tempat seperti ini. Mundur justru lebih berbahaya daripada terus naik. Karena, konon, di puncak Gunung Lawu sudah dibangun restoran dan puskesmas alakadarnya. Kita bisa memesan indomie telur dan nonton televise di sana. Akhirnya rekan-rekan menyuruhku tidur dalam tenda, aku menurut saja, daripada tersiksa begini ?
Anehnya, rekan-rekan ku itu seperti tak merasakan apa yang kurasakan. Atau mereka jangan-jangan berpura-pura saja, mengingat kami adalah jajaran senior. Kadang tampil tangguh dihadapan adik-adik junior itu perlu untuk menumbuhkan respect ? Aku memaksakn diri berdesak-desakan dalam tenda bersama beberapa manusia lain yang sudah lebih dulu terbujur kaku. Sepertinya Nila malam itu ada dalam baringan manusia-manusia dalam tenda ini juga. Tapi aku mana tahu, tenda ini gelap tanpa penerangan ? Dibalut jaket tebal, celana panjang, dan kupluk di kepala, laki-laki atau perempuan gesturenya tak terbedakan. Suasana hening se-hening-heningnya. Sesekali terdengar bunyi mengerung aneh dari dalam hutan dan jeritan misterius dari angkasa. Mereka adalah makluk malam, tidak perlu dipertanyakan apakah ber-genre binatang atau dedemit. Di dalam tenda ini aku masih saja tak bisa tidur. Aku meringkuk dalam diam dan ku dengar aliran nafas kawan-kawan, kembang kempis. Beberapa terdengar paling gandang, seperti hisapan karburator truk fuso yang boros, beberapa terdengar seperti berusaha meniup kue ulang tahun, sesekali batuk dan menelan ludah, beberapa yang lain terdengar lemah lembut dan teratur, pelan dan damai. Ku rasakan nyeri ini tak berkurang sama sekali hanya saja berdesak-desakan begini membuatku lebih hangat. dari arah hutan.
Jamaah dari bangsa burung sahut menyahut. Aku beranjak keluar dari tenda. Kulihat mas Polo berdiri di tubir jurang memandangi ufuk langit. Aku berdiri di sampingnya ikut memandangi ufuk langit yang mulai bertransisi dari hitam ke jingga. Perlahan-lahan, seperti kilatan bom atom, seberkas cahaya tipis berwarna jingga membelah langit dari ufuk ke ufuk secara horizontal. Seperti pedang api yang maha panjang. Perlahan-lahan cahaya jingga itu menebal kemudian dari tengah nya menyembul pusat ledakan dahsyat tadi seperti mata genderuwo yang mengintip, mengerikan dan menakjubkan. Tabir hitam di kaki langit mulai tersingkap menampakkan ratusan rumah penduduk yang tampil seperti koloni bakteri, jalan raya, tower, sawah. Secara ajaib, ku rasakan dadaku mulai menjangkau udara pagi yang segar. Perlahan-lahan nyeri itu berangsur-angsur pergi dan berganti dengan rasa hidup yang berlipat-lipat. Kurasakan setiap sel-sel dalam paru-paruku kembali bernafas.
Aku gembira. Cobaan telah berakhir. Aku menoleh ke rekan-rekan wapenala yang mulai bangun dan keluar tenda. Wajah mereka pucat dan tampak seperti belum mandi. Kulihat wajah rekan-rekan perempuan yang biasaya tampil normal di sekolah kini sungguh tampak berbeda. Kalu sudah begitu, aku tak berani menatap berlama-lama wajah Tami atau Nila. Mereka berdua adalah ratu kecantikan dalam jajaran senior Wapenala [dalam arti negasi]. Kulihat di samping tenda kami, di balik batu besar itu, berdiri pohon tua yang sangat tinggi dengan dahan–dahan yang menjangkau tubir jurang. Daunya yang lebar-lebar dan lebat konon meyimpan jutaan paru-paru mini yang tak mengenal ampun saat malam tiba telah di switch-off sementara oleh si mata genderuwo.
Aku gembira. Cobaan telah berakhir. Aku menoleh ke rekan-rekan wapenala yang mulai bangun dan keluar tenda. Wajah mereka pucat dan tampak seperti belum mandi. Kulihat wajah rekan-rekan perempuan yang biasaya tampil normal di sekolah kini sungguh tampak berbeda. Kalu sudah begitu, aku tak berani menatap berlama-lama wajah Tami atau Nila. Mereka berdua adalah ratu kecantikan dalam jajaran senior Wapenala [dalam arti negasi]. Kulihat di samping tenda kami, di balik batu besar itu, berdiri pohon tua yang sangat tinggi dengan dahan–dahan yang menjangkau tubir jurang. Daunya yang lebar-lebar dan lebat konon meyimpan jutaan paru-paru mini yang tak mengenal ampun saat malam tiba telah di switch-off sementara oleh si mata genderuwo.
Pukul 10 pagi akhirnya kami berhasil mencapai puncak dengan perasaan berdebar-debar gembira. Suasana di puncak sudah ramai. Puluhan manusia dari berbagai paguyuban, menancapkan tribal di celah-celah bebatuan. Mereka menggelar semacam upacara. Puluhan backpack warna-warni tergeletak di jalanan setengah terbuka. Di ketinggian ini, hanya ada kami dan dan lautan awan yang sangat luas di bawah kaki. Sungguh menakjubkan, di kejauhan tampak pulau kecil yang mungkin adalah puncak Gunung Wilis. Di atas kami membentang langit biru tanpa cela. Sangat biru seperti batu akik. Nila merebus indomie. Aku, mas Polo dan Nila sarapan bersama dengan satu sendok bergantian searah jarum jam. Kami sarapan dengan lahapnya sampai kuah mie yang mendidih, anehnya tak terasa panas di bibir. Sepuluh tahun lebih telah berlalu dari masa itu tapi rasanya seperti baru kemarin. I miss those days :)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar