Selasa pagi, 1 November 2011. Cuaca pagi masih gerimis dan lumayan dingin. Sambil menunggu gerimis reda aku memesan kopi panas. Dua ekor burung gereja tampak berpesta pora menikmati sisa-sisa makanan di depan warung. Rekan-rekan sopir dan kenek asik menikmati santapan pagi mereka. Aku belum mood untuk sarapan, lagi pula aku ingin memakan perbekalan ini dulu untuk mengurangi beban backpack.
Air pegunungan ditambah cuaca pagi terasa sangat dingin menusuk tulang. Setelah mandi aku beranjak menemui Ibu Sjahroedin untuk berpamitan dan menitipkan sejumlah uang sebagai pengganti minuman dan juga sebagai ungkapan terimakasih. Tapi beliau menolak, dengan alasan jumlahnya yang terlalu besar, khawatir aku nanti kehabisan ongkos dan sebagainya. Sekali lagi aku memohon agar beliau tidak menolaknya. Tanpa nada dan ekspresi yang pas, tarik menarik begini bisa alot sampai sore. Karena khawatir menyinggung perasaanku, akhirnya beliau menerimanya.
Setelah mengucapkan rasa terimakasih, aku kembali naik ke atas menuju gebang taman. Jalanan aspal masih basah oleh grimis sejak tadi malam. Sinar matahari terbendung kabut tebal hingga tak mampu menguapkan embun. Seorang anak kecil tampak asik bermain-main sendiri dengan sepedanya, berputar-putar di halaman, di depan loket masuk Taman Nasional Cibodas. Tampak dua pasang muda-mudi bersepeda motor memesan tiket lebih dahulu. Giliranku meyerahkan Rp 6000 untuk membayar tiket masuk. Setelah masuk yang kulakukan pertama-tama adalah mencari sudut taman yang oke untuk sarapan dan menyeduh minuman hangat.
Aku berdiri mengamat-amati di samping gerbang masuk. Taman Nasional Cibodas ini mengoleksi aneka tanaman dari berbagai penjuru tanah air dan dunia. Keberadaanya di lereng gunung Gede dan Pangrango dipilih untuk menampung tanaman yang menyukai hawa dingin dan curah hujan tinggi. Seperti misalnya pohon Sakura. Para ahli dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berhasil mengembangbiak kan jenis pohon tersebut yang konon hanya tumbuh di Jepang. Uniknya, di sini ia bisa sampai dua kali berbunga dalam satu tahun, kata Pak Ade kemarin sore. Selain sakura, aneka tanaman obat dan tanaman beracun juga dikembangbiak kan. Setiap pohon diberi papan nama kecuali pada tanaman beracun.
Arah kiri berdiri rumah kaca bertuliskan Galeri Tanaman Hias. Berderet-deret dalam pot, tanaman ini bisa kita beli untuk koleksi. Di penghujung ruangan, sekelompok tanaman dengan bentuk daun yang kecil-kecil dililit kabel pada ranting-rantingnya, ditekuk kesana-kemari. Kulihat kantin masih tertutup. didepannya deretan kursi terbalik di atas meja. Tiga orang bapak mengenakan jaket kulit hitam sedang duduk sambil menghisap rokok. Wajah mereka beku sebeku udara pagi ini.
Aku melewati sebuah kolam teratai. Satu dua pohon dengan beberapa daun yang mengambang dipermukaan air. Di salah satu ujung batang pohon itu bertengger kelopak teratai berwarna merah muda. Beberapa orang tampak sedang memotong rumput dengan mesin yang dicangklongkan di punggung, bebeberapa yang lain tampak sedang menyapu dedaunan.
Di sebuah sudut jalan terdapat air terjun yang tertutup rimbun pepohonan. Hanya terdengar suara gemuruh air yang jatuh. Aku menyalakan Mini Trangia untuk merebus air. Beberapa lembar roti selai rasa strowbery dengan sedikit margarin, sebutir apel dan semangkuk susu coklat menemaniku sarapan pagi. Matahari mulai menampakkan sinarnya yang membakar. Menguapkan embun-embun di dedaunan. Menguapkan tetes-tetes air yang terperangkap di celah bebatuan. Asap tipis mengepul dari celah-celah lantai paving didepanku.
Tertulis air terjun Legok Ciboga pada sebuah batu semen. Airnya meluncur dari celah bebatuan dan tidak begitu besar. Alirannya bergabung dengan sungai kecil yang meliuk-liuk ke hilir. Melewati kebun sakura yang sedang tidak berbunga. Tampak sebuah gubuk kecil dipinggir sungai. Dua pasang muda-mudi sedang asik berfoto-foto di sungai yang tak seberapa dalam ini. Airnya sangat jernih.
Aku memandang kebawah. Barangkali ada ikan yang berenang-renang di celah bebatuan ? Air terjun ini tidak begitu tinggi, barangkali hanya 8 meteran. Letaknya dekat jalan beraspal yang berbelok naik. Serombongan ibu menggandeng anaknya sambil memegang payung tampak menuruni belokan jalan itu. Dari belokan jalan ini, bila memandang ke bawah, tampak beberapa rumah di kejauhan. Tak jauh dari belokan tadi berdiri plang bertuliskan Koleksi Tanaman Obat. Aku ingin melihat-lihat sebentar namun setelah berjalan beberapa meter aku urungkan niatku. Jalannya lumayan menurun dan berlumut, aku tak yakin bisa dengan mudah naik kambali.
Tak jauh dari sini tampak beberapa orang laki-laki sedang memangkas dahan-dahan tanaman. Jalanan mulai gelap. Sinar matahari terhalang oleh rimbunnya dedaunan pohon-pohon besar di kanan dan di kiri. Terdengar bunyi cekikikan di atas pohon-pohon itu. Aku menatap ke atas mencari sumber bunyi tadi ? Tiga anak laki-laki sepantaran keponakanku yang SMP berdiri di kejauhan. Salah seorangnya menghampiriku. Bunyi cekikikan kembali terdengar.
“Bunyi apa barusan ?” tanyaku pada anak itu.
“Itu suara tupai,” ucap anak laki-laki ini.
Suaranya jelas sekali dari dahan pohon di atas ku itu. Dahan tampak bergoyang-goyang dan terlihat seekor tupai besar sedang bergerak-gerak di ujungnya.
“Ingin diantar ke air terjun kak? Berapa saja boleh,” ucap anak laki-laki ini yang kemudian aku ketahui bernaman Imam, kelas 8 dan tinggal di desa tak jauh dari sini.
Selain air terjun Legok Coboga tadi terdapat air terjun lain yang lebih besar, air terjun Ciismun. Lokasinya memang agak jauh ke pinggir taman namun bukan sesuatu yang sulit ditemukan. Hanya saja aku perlu teman mengobrol, pikirku.
“Imam biasa dibayar berapa?” tanyaku memastikan.
“Berapa saja boleh,” jawabnya polos.
Aku tidak punya gambaran sama sekali berapa harus membayar anak ini. Aku melirik jam, masih pukul 10 an pagi. Baiklah, aku akan membayarmu sesuai jam kantor tempatku dulu bekerja, Rp 14,000 an/jam, pikirku.
‘Hayuk deh,” kataku kemudian.
Kami berjalan menyusuri pepohonan kemudian menurun ke undah-udakan, melewati batu-batu besar dan semak-semak. Imam dan keluarganya tinggal di sebuah desa di balik gunung Gede ini. Ketika besar nanti ia bercita-cita menjadi seorang tentara. Kami berpapasan dengan laki-laki setengah baya, gendut dan kepalanya botak. Badanya sudah basah kuyup oleh air. Dari tampangnya aku tahu ia berasal dari Arab atau negeri-negeri timur tengah sana.
Tampak beberapa kios makanan dan foto yang tidak berpenghuni, hanya satu yang tampak masih buka menjual roti, pop mie dan air minum. Sayup-sayup terdengar bunyi menderu-deru. Tak lama kemudian kami sampai di air terjun besar Ciismun. Aku meminta Imam mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan. Didandingkan air terjun Legok, debit air dan ketinggian air terjun ini empat atau lima kalinya. Airnya jernih dan dingin. Aku mencoba meminum beberapa teguk sekedar untuk memebasahi kerongkongan.
Saat kembali kami menuju kios makanan tadi sudah pukul 11 lewat beberapa menit. Aku membeli dua botol air minum, satu aku berikan ke Imam.
“Imam, kakak diantar sampai sini saja, berapa ongkos kamu ?” tanyaku lagi. Aku ingin ia menyebutkan jumlah tertentu.
“Berapa saja terserah kakak, Imam se-ngasihnya saja.”
Capek deh. Ku sodrorkan saja Rp 16,000 kepadanya. Ia menerima dengan pandangan polos, tidak komplain ataupun gembira, biasa saja. Aku berjalan kembali menuju taman. Imam berjalan tak jauh di depanku, masih berusaha mengantarku kembali. Di pinggir sungai kami berjumpa dengan rombongan turis dari Arab. Seorang bapak berjenggot menggendong puterinya di pundak sampai berpeluh-peluh. Istrerinya mengikuti dari belakang. Tampang bapak itu mirip presiden Irak. Tampang isterinya mirip dosen kalkulus ku yang juga berasal dari Arab. Bapak ini melihat ke arah ku dan mengeluarkan kata-kata yang tidak ku mengerti. Aku terbengong-bengong. Imam segera menjawab dengan bahasa Arab, sepatah dua patah kata. Kemudian mereka berlalu.
“Mereka tadi ngomong apa Imam ?” tanyaku pada Imam beberapa saat kemudian.
Tadi mereka bertanya, “Apa air terjunnya masih jauh? Kemudian Imam menjawab, tidak jauh.” Lalu ia melanjutkan “Apa mereka perlu dibantu menggendong puterinya?”
Jawab si Turis, “Tidak terimakasih”.
“Memangnya kamu kuat menggendong puterinya yang gendut tadi,” kataku pada Iman.
Dengan polos ia menjawab “Iya, kuat.”
Kami berpisah di sebuah undak-undakan yang tadi kami turuni, namun sekarang rasanya aku tak sanggup menaiki tangga batu itu. Aku mencari rute yang lebih datar.
“Kakak jalan lurus ke sana”, sambil tangannya menunjuk.
“Nanti akan ketemu gerbang ke jalan besar,” saran Imam.
“Terimakasih Imam, sampai jumpa,” kataku kemudian.
Ia langsung menghilang di balik semak-semak. Aku berjalan melewati anak sungai terusan air terjun. Tampak sesosok pria setengah baya yang botak tadi sedang duduk dipinggiran sungai, sambil bernyanyi atau ber puisi dengan bahasa arab. Suaranya lumayan merdu. Tampaknya mereka sangat kagum dengan air mengingat di negerinya hampir pasir seluruhnya. Tidak mengherankan juga bila mereka mengincar bulan Oktober di mana umumnya Indonesia sudah memasuki musim penghujan. Saat debit air cukup besar, sebuah air terjun akan memancar dengan gagah dan dapat menampilkan berbagai atraksi benturan dengan sudut-sudut bebatuan yang memukau.
Gerbang masuk taman sudah terlihat. Serombangan pemuda Arab berkulit negro sedang berfoto-foto di atas pipa baja. Dari gerbang ini, jalanan kembali beraspal dan yang menuju ke taman keadaanya lumayan menanjak. Aku kelelahan dan bersandar pada beton di pinggir jalan. Aku kembali memasuki taman. Titik-titik air mulai berjatuhan dari langit. Beberapa menit kemudian hujan turun dengan derasnya. Aku bergegas berlindung di bahwah pohon untuk mengenakan jaket air braker. Mudah-mudahan juga water breaker, pikirku. Rupanya tidak! Air mulai merembes masuk membasahi kaos dalam. Aku berlari ke rumah kaca yang tak jauh dari situ. Satu jam lebih hujan tak kunjung reda. Badanku sudah basah kuyup. Aku mulai menggigil kedinginan. Ku nyalakan Mini Trangia untuk merebus air. Ternyata botol minumku sudah kosong sehingga dengan sukarela aku tampung air hujan ini untuk membuat sereal hangat.
Sore hari, hujan baru reda dan menampilkan pemandangan yang memukau. Langit menjadi cerah. Jalan-jalan sebagian tergenang air, rumput-rumput tergenang air, dedaunan basah oleh air, menampilkan berjuta-juta butiran kemilau. Semua terasa sangat segar setelah hujan. Saat-saat seperti ini duduk di bangku taman sambil membaca buku atau berdua-duaan barangkali manjadi moment paling romantis dibanding kapanpun. Aku mulai jatuh cinta dengan air, tertular penyakit Turis Arab tadi. Orang-orang menjadi saling mencintai. Tampak dua orang pria setengah baya sedang berbincang-bincang di pinggir kolam dadakan ini. Mereka saling memandang dengan mesra, melupakan anak dan istrinya. Aku melihat ke arah gardu tempat aku berjumpa dengan Pak Ade kemarin sore. Hanya ada seorang satpam muda yang tak ku kenal.
Aku beranjak keluar taman. Tampak toko-toko cendera mata berjejer sepanjang pintu keluar. Aku memebeli beberapa kaos untuk oleh-oleh. Sayang sekali tidak ada yang ukurannya pas denganku. Aku mencegat angkot yang akan turun. Supir angkot menurunkan ku di samping plang. Aku menyerahkan lima ribuan kemudian dikembalikan tiga ribu sekian rupiah. Ongkos turun tidak sampai Rp 2000. Aku berjalan menuju gang kecil mencari mushola. Setelah istiahat, aku mengeluarkan semua barang-barang dari backpack. Beberapa bungkus biskuit yang remuk karena berdesak-desakan, termos air dari logam, pakaian kotor, sebungkus roti tawar yang sudah memasuki tanggal kadaluarsa, sebotol minyak goreng, sepatu, sarung dan sleeping bag.
Tampak seorang pemuda sedang mengenakan sarung. Termos air dan sebotol minyak goreng selama ini tak memiliki moment untuk tampil. Aku tawarkan kedua benda tersebut ke pemuda tadi dan ia menerimanya. Roti tawar aku buang, sisanya aku masukkan kembali ke backpack. Sekarang rasanya lumayan ringan. Aku kembali menuju jalan besar.
Aku terbayang kisah Nancy Margaretha yang menumpang-numpang kendaraan yang lewat. Aku tertarik untuk mencobanya, di sini, sekarang. Kalaupun tersasar tak mengapa, lagi pula tersasar dari apa ? Karena tidak ada agenda atau tujuan tertentu yang ada hanyalah jalan-jalan. Aku mengeluarkan selembar kertas dan spidol kemudian aku mulai menulis “Cianjur.” Setengah jam lamanya aku berpose sexy di pinggiran jalan ini. Berkali-kali di klakson supir angkot yang menawarkan tumpangan. Aku menolak. Mobil-mobil asbak (bak terbuka) tak ada yang mau berhenti.
Entahlah, barangkali keadaanya yang semestinya adalah saat dimana tak ada angkutan umum, sehingga orang-orang bersimpati untuk menolong atau barangkali aku yang kurang bisa bersabar. Nancy sendiri kabarnya pernah sampai semalaman menunggui kendaraan di pinggir jalan. Keadaan mulai gelap dan aku mulai bosan. Seteleh kesekian kalinya, akhirnya aku menerima tawaran angkot yang lewat. Di dalam angkot aku tertidur sampai pemberhentian terakhir. Pak sopir membangunkan ku. Aku berjalan mencari mushola terdekat.
Nama daerah ini seperti nama seekor binatang legenda dari China. Aku berjalan menuju minimarket mencari sebungkus gula ukuran kecil untuk menyeduh kopi. Tampak empat atau lima orang turis Arab sedang memakan snack sambil ngobrol bersama rekan-rekannya. Aku tidak menjumpai gula ukuran kecil. Aku mengambil sebotol besar air minum dan beranjak menuju kasir. Orang-orang Arab ini berdiri hanya beberapa centimeter dari posisiku. Serombongan anak-anak yang melintas tertarik melihat rombongan turis ini kemudian mengucapkan salam. So excited barangkali. Beberapa dari mereka mengenakan celana pendek hingga bulu-bulu kakinya yang lebat kelihatan. Kemungkinan anak-anak ini senang karena melihat makluk mirip gorila ?
Aku menanyakan rute Angkot ke Cianjur kepada anak-anak itu. Tampaknya untuk ke Cianjur aku harus dua kali ganti angkot. Sedangkan angkot yang biasa melintas di sini hanya sampai daerah bernama Cipanas. Tiba di Cipanas, aku turun di sebuah pasar tradisional. Suasana malam di pasar cukup ramai. Beberapa orang tampak sedang menikmati sate bakar yang dijual dengan cara dipikul. Udara yang lumayan dingin sangat pas untuk makan sate bakar. Namun melihat tempat sekitar yang becek, aku jadi kehilangan selera.
Aku menuju emperan sebuah toko yang sudah tutup sambil menikmati gorengan hangat yang baru aku beli. Malam semakin larut. Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan-jalan memutari pemukiman para penduduk sekitar. Beberapa mushola yang aku jumpai, gerbangnya sudah terkunci. Aku melewati tempat semula kemudian menuju pos polisi di sebuah pertigaan.
“Selamat malam Pak, saya mencari masjid agung atau masjid yang biasa dipakai untuk sholat jumat ?” Tanyaku pada pak Polisi.
“Mau ke puncak mas, berapa orang ?” Tanya pak Polisi.
“Iya, saya sendirian saja” jawabku menghindari jawaban-jawaban panjang.
“Masjid agung Cipanas ada di belakang pasar ini,” sambil tangangnya menunjukkan arah.
“Atau di belakang pertokoan ini juga ada masjid besar,” kata beliau.
Aku tadi sudah memutari pemukiman atau pertokoan ini, tapi semua sudah terkunci. Jadi aku menanyakan arah detail masjid Agung Cipanas itu saja, pikirku.
Gerbang Masjid Agung Cipanas juga sudah terkunci, sialan, gerutuku. Aku sudah sangat lelah. Aku menuju sebuah toko yang masih buka, menanyakan kalau-kalau ada mushola kecil. Ibu penjaga toko sudah setengah megantuk saat memberikan penjelasan. Aku menuruti saran beliau. Jalanan kembali menanjak, hadeuwh. Walaupun tadi udara terasa dingin, tapi kini badanku sudah banjir keringat lagi. Sudah beberapa puluh meter jalan menanjak dan tanda-tanda keberadaan mushola itu belum juga kelihatan. Kembali aku bertanya pada Bapak setengah baya yang duduk di depan konter pulsa. Ada dua mushola kecil di dekat sini, yang pertama masuk gang kecil di samping konter ini yang lain beberapa meter di atas. Mendengar cara beliau menjawab, sepertinya kehadiranku hanya mengganggu saja, aku merasa tidak enak sendiri. Aku memilih yang agak jauh saja, pikirku. Beberapa puluh meter aku naik, serombongan anak-anak muda sedang duduk dipinggir jalan. Aku memberi salam dan menanyakan keberadaan dan kondisi mushola itu. Anak-anak muda ini menjelaskan situasinya.
“Sepertinya, gerbangnya juga sudah dikunci lho bang,” kata mereka.
Aku kembali turun dengan sedikit mendongkol. Bukan pada anak-anak muda ini tapi pada Andrea Hirata, Marina dan Nancy Margaretha. Secara tidak langsung merekalah yang menyeretku turun ke jalan. Sialaaaan, ini amat-sangat-super konyol. Siapa bilang backpacking menyenangkan ? Ini ide paling bodoh yang pernah aku tahu.
Aku kembali turun menemui Bapak setengah baya tadi. Aku memakasakan diri untuk bisa tersenyum.
“Mohon maaf pak, mushola yang atas juga sudah di kunci,” jawabku memelas.
“Adik sebetulnya mau ke mana?” tanya beliau dengan nada gusar sekali.
Aku bingung menjelaskan keadaanku.
“Saya jalan-jalan saja pak, mengembara,” jawab ku kehabisan akal.
Aku sudah lelah. Masa bodoh deh. Setelah dilempari beberapa pertanyaan lagi, yang ku jawab dengan apa adanya, aku diantar menuju mushola kecil yang ternyata persis di belakang counter hp nya. Sungguh sialan Bapak ini, dari tadi kek, gerutuku mendongkol. Di bawah lampu mushola yang terang benerang ini, aku diminta menunjukkan ktp. Aku berikan saja. Ktp ku di bawa pergi. Terserah saja. Aku bersandar di dinding mushola, kelelahan. Emperanya hanya setengah meter. Beberapa menit kemudian beliau datang mengembalikan ktp dan membukakan pintu mushola. Fiuhhh …. :)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar