Senin, 13 Agustus 2012

[b] Gravitasi Lain #1

Pernah dulu saat masih kuliah di Bandar Lampung, aku berjumpa seorang Ladies yang berbahasa Indonesia saja tidak lancar. Namun ia santai saja jalan-jalan sendirian, menanyakan rute angkot menuju pantai Teluk Betung. Padahal daerah pelosok-pelosok di Bandar Lampung saat itu konon masih rawan kejahatan.

Aku ingin mengalami semua itu. Tapi bagaimana mungkin, aku sama sekali tak memiliki keberanian ? Aku tak memiliki alasan. Demi apa ? Bagaimana bila nanti ketemu copet, rampok atau sampai diperkosa ? Bagaimana mengantisipasi resiko-resiko itu ? Kepalaku rasanya menciut, dadaku dipenuhi ketakutan. Aku bolak-balik buku karya Marina ini sekali lagi. Dalam bukunya ia menuliskan 13 alasan yang sangat krusial kenapa ia harus pergi ber-backpacking ke Eropa. Berminggu-minggu lamanya aku menimbang ide ini. 


"Balapan motor adalah sesuatu yang mengerikan. Salah-salah masa muda kita bisa habis  dipembaringan karena cedera sumur hidup. Namun ada satu prinsip unik yang mereka semua pegang. “Kalau Anda yakin lakukan saja.” Meskipun begitu, tidak lantas menjadikan balapan motor aman-aman saja, ia tetap kerap memakan korban. Membingungkan bukan ?" 

“Apakah bedanya ? Bila ada dua orang, yang satu Jawaran Banten yang satu Banci Kaleng. Keduanya kini atlet olahraga cabang loncat indah. Bila sudah meloncat, gravitasi akan menarik keduanya dengan kecepatan yang sama.”


Rupanya untuk urusan seperti ini, seorang aku tidak cukup hanya dengan kalkulasi-kalkulasi dan logika. Di puncak kegalauan malam itu, aku berdoa dengan sangat serius memohon petunjukNya.

“Ya Allah, hamba ingin ber-backpacking. Hamba mengajukan 13 alasan kenapa hamba sangat ingin ber-backpacking. Memohon pendapat Mu, Ya Allah ?”

Saat mengisyaratkan kalimat terakhir, seolah jiwaku ada dalam genggaman untuk aku serahkan kembali kepadaNya. Pasrah. Resiko adalah resiko. Kemudian aku buka lembaran Al-Quran secara random, dilembaran itu, ya hanya dilembaran itu saja aku mencari sesuatu yang nyambung dengan kata kunci: backpacker. Bantinku meloncat gembira. Berdebar-debar. Terharu. Kutemukan angka itu nyambung dengan ayat ke 13 sebuah surah.

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Kebetulankah ? Mungkin saja. Namun itu sudah cukup.




***

Saat perpisahan itu akhirnya tiba. Seorang calon guru baru telah hadir si sini. Kelak ia akan menggantikan posisi guru Matematika SMP yang sudah senior karena harus  bergeser menggantikan posisiku. Setelah dua tahun satu bulan tempat kerja yang nyaman ini rela tidak rela harus kutinggalkan.


Tiga bulan adalah masa tenggang pengajuan resign ku disetujui. Selama tiga bulan itu pula satu persatu “perabotan lenong” mulai aku kumpulkan. Setelah intensif ngas-kus dan googling, di kawasan Cipulir terdeteksi toko backpack yang cukup oke. Sebuah backpack dengan kapasitas 65 liter lisensi Jerman yang nyaman dipakai dan bisa menyerap panas di punggung kubeli di situ. Wajah yang sudah lama kusut ini, minggu sore itu tampak berseri-seri, menyunggingkan senyum gembira dan kembali merasakan desiran semangat. Sambil menenteng backpack baru, aku membayangkan petualangan nanti, cihuy, bakalan seru pastinya, hahaha! Di toko itu juga tampak dijual sleeping bag dan alat masak Mini Trangia namun untuk membeli backpack ini saja kantongku sudah terkuras.


Bulan berikutnya, setelah menerima amplop dari Miss Bos, tanpa pikir panjang kulangkahkan kakiku ke toko itu lagi memborong sleeping bag Lafuma, Mini Trangia, pisau lipat SR Columbia, matras dan webbing untuk tali cadangan. Namun tidak semua barang itu sungguh aku butuhkan. Aku terlanjur terbakar oleh euforia yang aku ciptakan sendiri. Benar saja. Aku mulai berfikir untuk membeli tenda. Beruntung keponakanku yang anggota pencinta alam punya tenda yang bisa aku pinjam.


Dua hari menjelang keberangkatan, tiba-tiba punggungku terasa nyeri seperti mau patah ? Rasa khawatir mulai menjalar. Apakah ini yang disebut osteoporosis ?  Gawat. Berat backpack setelah semua makanan, pakaian dan alat-alat di masukkan barangkali sudah melebihi 25 kg ? Bila terjadi retak atau sampai patah tulang tamat sudah semua rencana ini.  Pagi harinya pun aku berjoging ria sesuai saran bang Zuhud, security di tempat kami. Tidak seperti biasa, sejak tamat dari Universitas dan terpisah dengan kawan-kawan, aku mulai jarang berolahraga. Siang hari, sebelum mengajar, aku ke supermarket untuk membeli susus berkalsium tinggi. Dua hari berikutnya aku rajin minum susu ini dengan dosis yang agak berlebihan dan terus berjoging.

***

Sabtu pagi,  29 Oktober 2011. Jantungku berdebar-debar tidak seperti biasa. Tidak masuk akal, ini kah hari terakhir aku di sini ? Aku menatap ruang kelas, buku-buku, coretan-coretan pulpen, pensil dan tip-eks di dinding-dinding kelas, ada gambar kepala kucing, kata-kata ejekan yang saling sahut-menyahut, aku jadi tersenyum-senyum sendiri. Barangkali aku memang sudah gila? Pagi itu wajah-wajah orang di sekitar tampak membeku, tak ada senyum-senyum ceria seperti biasa. Semuanya hanyut dalam lamunan masing-masing. Selain karena udara pagi yang dingin, problem sumber daya manusia ini mengharuskan pengaturan ulang job-des yang berarti semuanya harus beradaptasi dengan tugas yang baru selama satu atau dua bulan kedepan.


Namun tekadku  untuk jelajah darat dari Bogor ke Banyuwangi ini sudah bulat. Manginngat-ingat semua alasan ‘gila’ ini justru membuatku makin bersemangat. Usai mengajar, kami semua berkumpul di ruang SD yang paling besar untuk menggelar acara perpisahan. Bagaimanapun, kami memang sudah seperti keluarga sendiri. Aku memesan catering di warteg dekat kantor agar perpisahan ini tidak berlangsung menyedihkan. Ibu Widyawati Hotomo, owner perusahaan ini memintaku memberikan kesan dan pesan selama di perusahaannya. Acara ditutup dengan saling meminta maaf dan doa bersama, salah satunya, agar aku selamat di jalanan. Tak lama berselang, rekan-rekan kantor dari cabang BSD beberapa tampak berdatangan. Nampaknya mereka juga merasa kehilangan sesuatu ? Seorang kawanku datang sambil membawa titipan uang untuk membayar hutang, padahal saat itu maksudnya pinjaman tak berbunga [Apa bedanya ? :)]. Aku juga punya hutang beberapa puluh botol soft drink. Setelah aku hitung semua tutup botol yang sengaja aku simpan di laci, dikalikan dengan sekian rupiah, aku masukkan uangnya ke laci admin disertai secarik pesan. Kakiku melangkah keluar gerbang saat sinar matahari sudah menyengat dari belakang. Hari menjelang sore ketika kehidupanku sebagai pengembara dimulai.


[kiri] Perjamuan terakhir dengan kru Bintaro. [kanan] kawan-kawan BSD.

Baru berjalan beberapa ratus meter peluh sudah mulai membajiri badan. Sungguh ini diluar dugaan, ternyata memanggul backpack 65 liter ini berat dan capek.  Sepertinya aku mengerti sekarang mengapa Nancy Margaretha ke Eropa hanya memanggul backpack 35 liter. Aku berhenti diperempatan tempat mangkal angkot S-8 arah terminal Lebak Bulus. Ngos-ngosan ! Orang-orang menatap penasaran. Mau malam mingguan di puncak, mas bro ? Begitu barangkali pikir mereka.


Ke Bogor, kawanku di sana sudah menunggu. Sejak satu SMA di kota kelahiran kami, Madiun, kami telah akbrab. Lewat facebook aku peroleh nomer hand-phone nya setalah 7 tahun lebih terpisah. Adi, begitu ia di sapa. Kini Adi bekerja di BPN Jakarta sebagai seorang geographic information system, Ilmuwan Planet-Planet, Alien dan UFO. Segera aku cegat angkutan bernomor S-8 yang melintas menuju terminal Lebak Bulus. Terminal ini ramai seperti biasa. Banyak orang nongkrong menunggui sesuatu saat aku lewat menghampiri bus warna merah itu : Agra Mas. Bus AC ini akan membawaku ke terminal Baranang Siang. Hanya ada beberapa penumpang di dalam bus. Aku menuju kursi paling belakang karena dibelakang jok terdapat sedikit ruang untuk meletakkan backpack. Aku tertidur sepanjang jalan. Saat tiba di terminal Baranang Siang suasana sudah gelap. Aku beranjak keluar. Ke mana halte bus Pakuan ? Sudah beberapa kali ke sini namun masih saja bingung di mana jalur bus yang melintasi mall Bogor Indah Plaza itu. Kawanku sudah menanti di sana. Tampak sepasang siswa berseragam putih biru menuju jalan besar, aku kejar mereka.


Bogor Indah Plaza. Saat tiba di sini hari sudah malam. Aku sandarkan backpack di bawah pohon palm pinggir jalan raya depan BIP lalu merogoh botol air minum. Adi muncul dari belakang sambil cengar-cengir. Belum lama berpisah dengan rekan-rekan kantor, aku sudah merindukan sesuatu yang tidak asing dan itu kini kuperoleh itu dari senyum dan suarannya yang khas. Kemudian kami berjalan menuju tukang sate, perutku memang sudah keroncongan sejak bangun tidur di bus Agra. Tempat tinggal Adi tak jauh dari sini. Setiap hari ia harus bolak-balik JakartaBogor untuk kerja dan kuliah. Di sini ia tinggal bersama pamanya, doktor Ilmu Tanah di IPB. Meskipun sudah beberapa kali bertemu pamannya, aku masih saja lupa nama beliau. Pakde, begitu saja aku memanggil beliau, menirukan Adi. Tengah malam kami berjalan pulang. Rumah Pakde bercat putih dan menghadap ke selatan. Pakde banyak mengoleksi batu-batuan alam, kulit-kulit kerang laut dan aneka cendramata imut dalam lemari kaca. Sebuah akuarium berisi ikan Oscar hitam atu mungkin Piranha berada di ujung tengah ruangan. Diatasnya terpampang foro kelurga, beliau memakai jas bersama istri dan putri kecilnya. Ganteng sekali. Beliau dan keluarganya beristirahat dilantai dua. Kamar Adi ada dibagian depan. Setelah mandi, aku merebahkan diri di kasur.


Minggu pagi, 30 Oktober 2011. Udara pagi berhembus sejuk menerobos dari jendela kamar, terbelah oleh komputer di meja depan, bersatu kembali dan menerpa wajahku. Pagi itu bibi memasak telur dadar, ikan asin, tempe goreng, sayur terong dan sambal yang sangat lezat. Pakde sedang membaca koran pagi. Sambil tersenyum ramah beliau mempersilakhan kami untuk sarapan. Kami pun sarapan dengan lahap. Segelas air hangat berhasil menawarkan hawa dingin pagi itu. Setelah dipertimbangkan, beban backpack ini harus dikurangi atau daya jelajahku akan menurun. Terpaksa tenda harus ditinggal mengingat fungsinya belum begitu penting. Lagipula akan selalu ada Mushola atau Masjid yang emperannya selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin istirahat.



[kiri] Kamarnya Adi. [kanan] Sarapan pagi

Berbeda sekali denganku, kawanku Adi ini sudah kebanyakan aktivitas lapangan, setiap hari menempuh Jakarta – Bogor, salah-salah bisa ditugaskan ke Padang atau Kalimantan, sehingga pada hari minggu kerjanya mantengin TV sejak pagi. Lama-lama aku bosan juga menemaninya nonton. Aku mendesaknya agar keluar rumah, cari camilan atau apa saja asal keluar dari rumah. Kami berajalan cari camilan di teras BIP. “Dimana aku bisa mendapatkan peta Bogor?” Tanyaku pada Adi sambil menikmati soft drink yang baru ia beli. Aku menginginkan peta Bogor yang lengkap dengan jalan-jalan utama dan gang-gang seperti peta Jakarta. Kami kemudian menuju Gramedia di Botani Square. Tidak di Gramedia Bintaro atau Botani Square sama saja, peta Bogor dengan akurasi semacam itu sulit diperoleh. Beberapa kota yang memiliki peta demikian adalah Jakarta, Bandung, Surabaya dan Jogjakarta.


Sedikit kecewa, nampaknya aku hanya bisa mengandalkan rambu-rambu penunjuk jalan dan orang-orang yang kelak aku jumpai. Di Botani Square, melihat orang berbelanja, baju-baju, komputer-komputer, perlengkapan rumah tangga, makanan-makanan, lama-lama aku bosan. Berbeda sekali denganku, Adi nampak santai dan menikmati suasana begini.

Suatu ketika ia bersama rombongannya harus memetakan kawasan di pedalaman Riau, menerobos hutan 10 hari lebih, melintasi rawa-rawa sedalam lutut dan hanya memakan roti yang itu-itu saja.



Setelah makan siang di warung kami ngantuk sekali dan tertidur di teras masjid Alumnus IPB

Ia tahu aku bosan, kemudian mengajakku keluar cari makanan di warteg. “Ini kan yang kamu mau ?” Katanya sambil cengar-cengir mengejek. Setelah selesai bersantap, kami berjalan menuju Masjid Alumnus IPB di samping Botani Square. Sejenak bersandar untuk member kesempatan perut bermetabolisme. Adi bersandar di dinding masjid dan langsung tertidur pulas. Bogor nampaknya surga kuliner. Kawanku ini memberiku buku 100 lokasi wisata kuliner yang tersebar di seantero Bogor. Di sini juga terdapat Istana dan Kebun Raya yang memanjakan penikmat buku atau penikmat suasana tenang untuk duduk bersantai. Namun aku tidak dalam mood untuk makan, membaca buku atau bersantai, aku hanya ingin terus berjalan. Malam hari itu kami kembali ke rumah Pakde. Aku langsung hempaskan tubuhku ke kasur.


Senin pagi, 31 Oktober 2011. Seperti biasa Pakde tersenyum ramah, meninggalkan bacaan korannya dan menyuruh kami untuk sarapan. Pakde yang baik hati ini asli Madiun seperti Adi dan juga aku. Sialnya, beliau ini fasih sekali berbahasa Jawa halus. Kawanku Adi juga fasih berbahasa Jawa halus, hanya aku yang tidak lancar. Bahasa Jawa, aku bisa tapi halus ? Belepotan. Bahasa Jawa dicampur bahasa Indonesia, Inggris  dan Arab : hancur. Pakde senyum-senyum geli. Bibi menghidangkan ikan bandeng asap, tempe dan tahu goreng, sambel dan tumis wortel yang sangat nikmat. Gratisan memang selalu nikmat hehehehe. Pagi ini kawanku harus berangkat ke kantor seperti biasa. Kami berpamitan dengan Pakde kemudian berjalan menuju halte bus Pakuan yang akan mengantarkan kami ke terminal Baranang Siang.


[kiri] Di halte Pakuan, Bogor. [kanan] Patung Kujang

Diterminal ini kami mengucapkan salam perpisahan yang sederhana: tersenyum tanpa air mata. Patung kujang, icon kota Bogor, terletak beberapa ratus meter dari sini. Di sebuah perempatan jalan besar. Kujang adalah senjata berjenis tombak yang dulu dipakai prajurit-prajurit kerajaan. Ku ambil beberapa foto Kujang sebagai kenangan. Perjalanan dilanjutkan ke Timur, menuju kawasan Ciawi. Satu jam pertama badan sudah dibanjiri peluh. Jalanan mulai menanjak, beberapa kali aku berhenti untuk menghela nafas dan minum. Matahari bersinar cukup terik, langkahku mulai gontai. Aku memutuskan untuk menepi di sebuah mushola.


Sayup-sayup terdengar suara orang berjalan disekitarku, aku terbangun. Orang-orang mulai ramai berdatangan, tak lama kemudian adzan duhur berkumandang. Seorang polisi yang masih tergolong muda menghampiriku. Sambil mengenakan sepatu kami ngobrol sebentar. Di depan gerbang mushola, tampak angkutan menuju Cisarua berseliweran. Aneh rasanya saat aku menolak naik angkot dan memilih untuk berjalan mengingat ongkosnya sangat murah. Entahlah, aku hanya belum ingin menyerah.



[kiri] Patung macan di Ciawi. [kanan] Suasana jalanan di Ciawi

Beberapa jam kemudian tampak patung harimau di perempatan besar Ciawi. Banyak angkot warna biru dan bus besar menuju Jakarta. Pasar tradisional di sebelah kanan jalan. Aku berhenti di bawah pohon untuk menikmati apel yang baru aku beli. Gerimis mulai mengguyur. Lapisan anti air pada backpack warna biru aku kenakan, tak mengapa bila badanku basah. Celana pendek yang aku kenakan ini terbuat dari bahan yang mudah kering dan tidak cepat bau asalkan tidak pipis dicelana. Seperti waktu kecil dulu, kala hujan begini paling suka lari marathon bersama teman-teman. Dan saat ingin pipis ya pipis saja di celana. Bila hujan cukup deras pipis yang keluar tidak akan tampak.


Aku melewati sebuah rumah sakit. Di seberang jalan terdapat ini market. Langit mulai sore dan masih gerimis. Memang tidak bisa dipungkiri, belanja murah adalah salah satu cara bertahan dalam backpacking. Sebotol besar air minum merek lokal tidak sampai tiga ribu rupiah. Aku membeli minum dan sebatang coklat. Sampai di sebuah pertigaan, jalan menuju Cisarua membelok ke kanan. Badanku sudah basah semua oleh gerimis yang tak kunjung reda. Badan jalan ini tidak begitu lebar, jatah utuk pejalan kaki hampir tidak ada. Artinya, jika ingin terus berjalan aku harus melawi rumput-rumput di pinggir jalan beraspal. Tidak ada bayangan sama sekali berapa kilometer jarak yang harus aku tempuh dan lagi jalanan mulai menanjak. Rasa lelah yang menyelimuti badan membuatku angkat tangan. Akhirnya aku mencegak angkot yang kebetulan melintas. Kurang lebih satu jam aku di dalam angkot ini. Setelah melewati Taman Safari Cisarua, angkot terus menanjak ke atas menuju kawasan puncak di Cibodas. Di sepanjang jalan banyak kujumpai tulisan Villa Kamar.



[kiri] Pemberhentian menuju Gunung Gede. [kanan] Penampakan kanan jalan

Angkot menurunkanku di sebuah pertigaan samping plang bertuliskan Kebun Raya Cibodas 4 Km. Dari arah Kebun Raya Cibodas meluncur angkot warna kuning gading bertuliskan Cianjur belok kanan setelah melewati plang, atau belok kiri jika dilihat dari posisiku di sebrang jalan. Sudah lama aku merindukan diterpa dinginnya hawa pegunungan. Seorang sopir angkot memanggil-manggil ku. Awalnya aku ingin jalan kaki namun rupanya pegal-pegal dikaki masih belum reda. Untuk 4 km ini aku mengeluarkan Rp 4000, agak mahal memang bila dibandingkan dengan angkot dari Lebak Bulus - Bintaro, yang dengan bayaran yang sama menepuh kurang lebih 20 km. Maklum lah tempat wisata. Tidak setiap hari ramai dikunjungi orang sedangkan jumlah yang harus disetor sudah pasti. 


Tiga orang penjaga Taman duduk sambil merokok di gardu. Mereka bertanya dengan nada keheranan melihatku sendirian saja. Aku juga keheranan ditanya begitu, memangnya kenapa kalau sendirian ? Peraturan bagi pendaki gunung yang ingin ke puncak Gunung Pangrango, minimal 3 orang, dan mendaftar minimal 3 hari sebelumnya, penjelasan dari salah seorang penjaga itu. Bila sendirian enggak boleh ke puncak! Aku berpapasan dengan dua bule perempuan yang nampaknya selesai naik dari puncak. Kami hampir tabrakan di jalan yang lebarnya hanya semeteran ini. Mereka jalannya menunduk terus, padahal aku sudah mengeluarkan suara “Excuss me madam.” Mereka meminta maaf sambil senyum-senyum. Kalau sampai terjadi, barangkali kepalaku akan membentur dada-nya, badan mereka tinggi-tinggi.
  



[kiri] Bersama Pak Ade. [kanan] Kalau kurang dari 3 orang dilarang naik.

Aku belok kearah taman. Gerbangnya dijaga seorang bapak-bapak yang kira-kira berusia 50 tahun. Langit kembali gerimis. Beliau mempersilahkan aku masuk gardunya. Pak Ade, begitu ia disapa. Pria ini kelahiran Garut, ayah dari 2 putra dan 1 putri. Puteranya yang sulung belum lama diwisuda dari Universitas Tirtayasa, Cilegon. Beliau duduk di kursi, aku duduk ditikar jadi persis raja ngobrol sama babunya. Beliau harus tetap menjalankan tugas mengawasi yang lewat, kalau sama-sama duduk ditikar bisa tidak kelihatan. Pak Ade berkali-kali meminta maaf karena tidak bisa menyuguhkan apa-apa. Aku juga, dalam hati, berkali-kali meminta maaf tidak mau menyuguhkan apa-apa karena bisa disangka sogokan. Suasana sudah mulai gelap saat gerimis mulai reda. Mengingat sudah hampir malam, beliau menawarkan untuk menginap di rumahnya yang tidak jauh dari sini. Sejujurnya aku juga ingin menerima tawaran beliau yang baik hati ini, namun aku belum ingin tidur. Aku masih ingin melihat-lihat sekitar. Kami bertukar nomer hp kemudian beliau member izin masuk gratis sampai gerbang ditutup pukul 8 malam.


Saat gerbang akan dikunci, suasana sudah sangat gelap sampai-sampai aku mengeluarkan senter kecil untuk menerangi jalan. Aku turun mencari-cari mushola untuk merebus air. Saat minuman hangat sudah siap saji, tiba-tiba terdengar bunyi adzan Isya dan anak-anak serta orang-orang tua berbondong-bondong datang untuk menunaikan sholat. Aku jadi serba salah saat anak-anak kecil ini berkerumun melihatku menyendoki sereal yang masih panas. Selesai sholat, imam mushola menghampiriku. Beliau menawariku untuk menginap gratis di kediamannya. Aku menolak. Beliau meyakinkanku bahwa di sini dingin. Aku bawa selimut. Beliau meyakinkanku bahwa di sini kurang aman. Aku mulai takut.


Pagi hari di rumah Pak Sjahroedin or Syafrudin ?

Beliau bernama Bapak Sjahroedin atau Syafrudin, kurang begitu jelas saat mendengarnya karena sambil menaiki motor tua yang mesinnya menjerit-jerit tak karuan. Kami memasuki areal parkir yang luas. Di pinggir berderet warung-warung makan. Kami menuju sebuah warung yang di depannya tampak dua bus besar sedang diparkir. Istrinya menyambutku dengan ramah dan menyuguhi wedang teh panas. Aku diberi sebuah kamar berlantai kayu yang dilapisi karpet. Sebuah kasur dengan bantal dan selimut yang terlipat rapi. Tampak 4 orang yang sepertinya sopir dan kenek bus tadi sedang pijit-pijitan di ruang tengah. Aku tersenyum dan menyapa mereka. Mereka membalas dengan terseyum dan menyapa ku.  Hari ini sungguh pengalaman yang baru. Belum apa-apa aku sudah ditolong dua Bapak yang baru kukenal.


1 komentar :

Resto Music 25 mengatakan...

kisah lainnya yg amazing