Pernah dulu saat masih kuliah di Bandar Lampung, aku berjumpa seorang Ladies yang berbahasa Indonesia saja tidak lancar. Namun ia santai saja jalan-jalan sendirian, menanyakan rute angkot menuju pantai Teluk Betung. Padahal daerah pelosok-pelosok di Bandar Lampung saat itu konon masih rawan kejahatan.
Aku ingin mengalami semua itu.
Tapi bagaimana mungkin, aku sama sekali tak memiliki keberanian ? Aku tak
memiliki alasan. Demi apa ? Bagaimana bila nanti ketemu copet, rampok atau
sampai diperkosa ? Bagaimana mengantisipasi resiko-resiko itu ? Kepalaku rasanya menciut, dadaku dipenuhi ketakutan. Aku bolak-balik buku karya Marina ini sekali lagi. Dalam bukunya ia menuliskan 13 alasan yang sangat krusial kenapa ia harus pergi ber-backpacking ke Eropa. Berminggu-minggu lamanya aku menimbang ide ini.
"Balapan motor adalah sesuatu yang mengerikan. Salah-salah masa muda kita bisa habis dipembaringan karena cedera sumur hidup. Namun ada satu prinsip unik yang mereka semua pegang. “Kalau Anda yakin lakukan saja.” Meskipun begitu, tidak lantas menjadikan balapan motor aman-aman saja, ia tetap kerap memakan korban. Membingungkan bukan ?"
“Apakah bedanya ? Bila ada dua orang, yang satu Jawaran Banten yang satu Banci Kaleng. Keduanya kini atlet olahraga cabang loncat indah. Bila sudah meloncat, gravitasi akan menarik keduanya dengan kecepatan yang sama.”
Rupanya untuk urusan seperti ini,
seorang aku tidak cukup hanya dengan kalkulasi-kalkulasi dan logika. Di puncak
kegalauan malam itu, aku berdoa dengan sangat serius memohon petunjukNya.
“Ya Allah, hamba ingin ber-backpacking. Hamba mengajukan 13 alasan
kenapa hamba sangat ingin ber-backpacking. Memohon pendapat Mu, Ya Allah ?”
Saat mengisyaratkan kalimat
terakhir, seolah jiwaku ada dalam genggaman untuk aku serahkan kembali
kepadaNya. Pasrah. Resiko adalah resiko. Kemudian aku buka lembaran Al-Quran
secara random, dilembaran itu, ya hanya dilembaran itu saja aku mencari sesuatu
yang nyambung dengan kata kunci: backpacker.
Bantinku meloncat gembira. Berdebar-debar. Terharu. Kutemukan angka itu
nyambung dengan ayat ke 13 sebuah surah.
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahateliti.”
***
Saat perpisahan itu akhirnya
tiba. Seorang calon guru baru telah hadir si sini. Kelak ia akan menggantikan
posisi guru Matematika SMP yang sudah senior karena harus bergeser menggantikan posisiku. Setelah dua
tahun satu bulan tempat kerja yang nyaman ini rela tidak rela harus
kutinggalkan.
Tiga bulan adalah masa tenggang
pengajuan resign ku disetujui. Selama tiga bulan itu pula satu persatu
“perabotan lenong” mulai aku kumpulkan. Setelah intensif ngas-kus dan googling,
di kawasan Cipulir terdeteksi toko backpack
yang cukup oke. Sebuah backpack
dengan kapasitas 65 liter lisensi Jerman yang nyaman dipakai dan bisa menyerap
panas di punggung kubeli di situ. Wajah yang sudah lama kusut ini, minggu sore
itu tampak berseri-seri, menyunggingkan senyum gembira dan kembali merasakan
desiran semangat. Sambil menenteng backpack baru, aku membayangkan petualangan
nanti, cihuy, bakalan seru pastinya, hahaha! Di toko itu juga tampak dijual
sleeping bag dan alat masak Mini Trangia namun untuk membeli backpack ini saja
kantongku sudah terkuras.
Bulan berikutnya, setelah
menerima amplop dari Miss Bos, tanpa pikir panjang kulangkahkan kakiku ke toko
itu lagi memborong sleeping bag
Lafuma, Mini Trangia, pisau lipat SR Columbia, matras dan webbing untuk tali
cadangan. Namun tidak semua barang itu sungguh aku butuhkan. Aku terlanjur terbakar oleh euforia yang aku ciptakan sendiri. Benar saja. Aku mulai
berfikir untuk membeli tenda. Beruntung keponakanku yang anggota pencinta alam
punya tenda yang bisa aku pinjam.
Dua hari menjelang keberangkatan,
tiba-tiba punggungku terasa nyeri seperti mau patah ? Rasa khawatir mulai
menjalar. Apakah ini yang disebut osteoporosis ? Gawat. Berat backpack setelah semua makanan, pakaian dan alat-alat di masukkan
barangkali sudah melebihi 25 kg ? Bila terjadi retak atau sampai patah tulang
tamat sudah semua rencana ini. Pagi
harinya pun aku berjoging ria sesuai saran bang Zuhud, security di tempat kami.
Tidak seperti biasa, sejak tamat dari Universitas dan terpisah dengan
kawan-kawan, aku mulai jarang berolahraga. Siang hari, sebelum mengajar, aku ke
supermarket untuk membeli susus berkalsium tinggi. Dua hari berikutnya aku
rajin minum susu ini dengan dosis yang agak berlebihan dan terus berjoging.
***
Sabtu pagi, 29 Oktober 2011. Jantungku berdebar-debar
tidak seperti biasa. Tidak masuk akal, ini kah hari terakhir aku di sini ? Aku
menatap ruang kelas, buku-buku, coretan-coretan pulpen, pensil dan tip-eks di
dinding-dinding kelas, ada gambar kepala kucing, kata-kata ejekan yang saling
sahut-menyahut, aku jadi tersenyum-senyum sendiri. Barangkali aku memang sudah
gila? Pagi itu wajah-wajah orang di sekitar tampak membeku, tak ada
senyum-senyum ceria seperti biasa. Semuanya hanyut dalam lamunan masing-masing.
Selain karena udara pagi yang dingin, problem sumber daya manusia ini mengharuskan
pengaturan ulang job-des yang berarti semuanya harus beradaptasi dengan tugas
yang baru selama satu atau dua bulan kedepan.
Namun tekadku untuk jelajah darat dari Bogor ke Banyuwangi ini sudah bulat.
Manginngat-ingat semua alasan ‘gila’ ini justru membuatku makin bersemangat. Usai mengajar, kami semua berkumpul di ruang SD yang paling besar untuk
menggelar acara perpisahan. Bagaimanapun, kami memang sudah seperti keluarga
sendiri. Aku memesan catering di warteg dekat kantor agar perpisahan ini tidak
berlangsung menyedihkan. Ibu Widyawati Hotomo, owner perusahaan ini memintaku memberikan
kesan dan pesan selama di perusahaannya. Acara ditutup dengan saling meminta
maaf dan doa bersama, salah satunya, agar aku selamat di jalanan. Tak lama
berselang, rekan-rekan kantor dari cabang BSD beberapa tampak berdatangan.
Nampaknya mereka juga merasa kehilangan sesuatu ? Seorang kawanku datang sambil membawa titipan uang
untuk membayar hutang, padahal saat itu maksudnya pinjaman tak berbunga [Apa bedanya ? :)]. Aku juga punya hutang beberapa puluh botol soft drink. Setelah aku hitung semua tutup botol yang sengaja aku simpan di laci, dikalikan dengan sekian
rupiah, aku masukkan uangnya ke laci admin disertai secarik pesan. Kakiku melangkah keluar gerbang saat sinar matahari sudah menyengat dari belakang. Hari
menjelang sore ketika kehidupanku sebagai pengembara dimulai.
Baru berjalan beberapa ratus meter
peluh sudah mulai membajiri badan. Sungguh ini diluar dugaan, ternyata
memanggul backpack 65 liter ini berat dan capek. Sepertinya aku mengerti sekarang mengapa
Nancy Margaretha ke Eropa hanya memanggul backpack 35 liter. Aku berhenti
diperempatan tempat mangkal angkot S-8 arah terminal Lebak Bulus. Ngos-ngosan !
Orang-orang menatap penasaran. Mau malam mingguan di puncak, mas bro ? Begitu
barangkali pikir mereka.
Ke Bogor, kawanku di sana sudah menunggu.
Sejak satu SMA di kota
kelahiran kami, Madiun, kami telah akbrab. Lewat facebook aku peroleh nomer
hand-phone nya setalah 7 tahun lebih terpisah. Adi, begitu ia di sapa. Kini
Adi bekerja di BPN Jakarta sebagai seorang geographic information system, Ilmuwan Planet-Planet, Alien dan UFO. Segera aku cegat angkutan bernomor S-8 yang melintas menuju
terminal Lebak Bulus. Terminal ini ramai seperti biasa. Banyak orang nongkrong
menunggui sesuatu saat aku lewat menghampiri bus warna merah itu : Agra Mas.
Bus AC ini akan membawaku ke terminal Baranang Siang. Hanya ada beberapa
penumpang di dalam bus. Aku menuju kursi paling belakang karena dibelakang jok
terdapat sedikit ruang untuk meletakkan backpack. Aku tertidur sepanjang jalan.
Saat tiba di terminal Baranang Siang suasana sudah gelap. Aku beranjak keluar.
Ke mana halte bus Pakuan ? Sudah beberapa kali ke sini namun masih saja bingung
di mana jalur bus yang melintasi mall Bogor Indah
Plaza itu. Kawanku sudah
menanti di sana .
Tampak sepasang siswa berseragam putih biru menuju jalan besar, aku kejar
mereka.
Minggu pagi, 30 Oktober 2011. Udara pagi
berhembus sejuk menerobos dari jendela kamar, terbelah oleh komputer di meja
depan, bersatu kembali dan menerpa wajahku. Pagi itu bibi memasak telur dadar,
ikan asin, tempe
goreng, sayur terong dan sambal yang sangat lezat. Pakde sedang membaca koran
pagi. Sambil tersenyum ramah beliau mempersilakhan kami untuk sarapan. Kami pun
sarapan dengan lahap. Segelas air hangat berhasil menawarkan hawa dingin pagi
itu. Setelah dipertimbangkan, beban backpack ini harus dikurangi atau daya
jelajahku akan menurun. Terpaksa tenda harus ditinggal mengingat fungsinya
belum begitu penting. Lagipula akan selalu ada Mushola atau Masjid yang
emperannya selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin istirahat.
Berbeda sekali denganku, kawanku
Adi ini sudah kebanyakan aktivitas lapangan, setiap hari menempuh Jakarta –
Bogor, salah-salah bisa ditugaskan ke Padang atau Kalimantan, sehingga pada
hari minggu kerjanya mantengin TV sejak pagi. Lama-lama aku bosan juga
menemaninya nonton. Aku mendesaknya agar keluar rumah, cari camilan atau apa
saja asal keluar dari rumah. Kami berajalan cari camilan di teras BIP. “Dimana
aku bisa mendapatkan peta Bogor ?”
Tanyaku pada Adi sambil menikmati soft
drink yang baru ia beli. Aku menginginkan peta Bogor
yang lengkap dengan jalan-jalan utama dan gang-gang seperti peta Jakarta . Kami kemudian
menuju Gramedia di Botani Square .
Tidak di Gramedia Bintaro atau Botani
Square
sama saja, peta Bogor
dengan akurasi semacam itu sulit diperoleh. Beberapa kota
yang memiliki peta demikian adalah Jakarta , Bandung , Surabaya dan Jogjakarta .
Sedikit kecewa, nampaknya aku
hanya bisa mengandalkan rambu-rambu penunjuk jalan dan orang-orang yang kelak
aku jumpai. Di Botani Square ,
melihat orang berbelanja, baju-baju, komputer-komputer, perlengkapan rumah
tangga, makanan-makanan, lama-lama aku bosan. Berbeda sekali denganku, Adi
nampak santai dan menikmati suasana begini.
Suatu ketika ia bersama rombongannya harus memetakan kawasan di
pedalaman Riau, menerobos hutan 10 hari lebih, melintasi rawa-rawa sedalam
lutut dan hanya memakan roti yang itu-itu saja.
Setelah makan siang di warung kami ngantuk sekali dan tertidur di teras masjid Alumnus IPB
Ia tahu aku bosan, kemudian
mengajakku keluar cari makanan di warteg. “Ini kan yang kamu mau ?” Katanya sambil
cengar-cengir mengejek. Setelah selesai bersantap, kami berjalan menuju Masjid
Alumnus IPB di samping Botani
Square . Sejenak bersandar untuk member kesempatan
perut bermetabolisme. Adi bersandar di dinding masjid dan langsung tertidur
pulas. Bogor
nampaknya surga kuliner. Kawanku ini memberiku buku 100 lokasi wisata kuliner
yang tersebar di seantero Bogor .
Di sini juga terdapat Istana dan Kebun Raya yang memanjakan penikmat buku atau
penikmat suasana tenang untuk duduk bersantai. Namun aku tidak dalam mood untuk makan, membaca buku atau
bersantai, aku hanya ingin terus berjalan. Malam hari itu kami kembali ke rumah
Pakde. Aku langsung hempaskan tubuhku ke kasur.
Senin pagi, 31 Oktober 2011. Seperti biasa
Pakde tersenyum ramah, meninggalkan bacaan korannya dan menyuruh kami untuk
sarapan. Pakde yang baik hati ini asli Madiun seperti Adi dan juga aku.
Sialnya, beliau ini fasih sekali berbahasa Jawa halus. Kawanku Adi juga fasih
berbahasa Jawa halus, hanya aku yang tidak lancar. Bahasa Jawa, aku bisa tapi
halus ? Belepotan. Bahasa Jawa dicampur bahasa Indonesia , Inggris dan Arab : hancur. Pakde senyum-senyum geli.
Bibi menghidangkan ikan bandeng asap, tempe
dan tahu goreng, sambel dan tumis wortel yang sangat nikmat. Gratisan memang
selalu nikmat hehehehe. Pagi ini kawanku harus berangkat ke kantor seperti
biasa. Kami berpamitan dengan Pakde kemudian berjalan menuju halte bus Pakuan
yang akan mengantarkan kami ke terminal Baranang Siang.
Diterminal ini kami mengucapkan
salam perpisahan yang sederhana: tersenyum tanpa air mata. Patung kujang, icon kota Bogor ,
terletak beberapa ratus meter dari sini. Di sebuah perempatan jalan besar. Kujang
adalah senjata berjenis tombak yang dulu dipakai prajurit-prajurit kerajaan. Ku
ambil beberapa foto Kujang sebagai kenangan. Perjalanan dilanjutkan ke Timur,
menuju kawasan Ciawi. Satu jam pertama badan sudah dibanjiri peluh. Jalanan
mulai menanjak, beberapa kali aku berhenti untuk menghela nafas dan minum.
Matahari bersinar cukup terik, langkahku mulai gontai. Aku memutuskan untuk menepi
di sebuah mushola.
Sayup-sayup terdengar suara orang
berjalan disekitarku, aku terbangun. Orang-orang mulai ramai berdatangan, tak
lama kemudian adzan duhur berkumandang. Seorang polisi yang masih tergolong
muda menghampiriku. Sambil mengenakan sepatu kami ngobrol sebentar. Di depan
gerbang mushola, tampak angkutan menuju Cisarua berseliweran. Aneh rasanya saat
aku menolak naik angkot dan memilih untuk berjalan mengingat ongkosnya sangat
murah. Entahlah, aku hanya belum ingin menyerah.
Beberapa jam kemudian tampak
patung harimau di perempatan besar Ciawi. Banyak angkot warna biru dan bus
besar menuju Jakarta .
Pasar tradisional di sebelah kanan jalan. Aku berhenti di bawah pohon untuk
menikmati apel yang baru aku beli. Gerimis mulai mengguyur. Lapisan anti air
pada backpack warna biru aku kenakan, tak mengapa bila badanku basah. Celana
pendek yang aku kenakan ini terbuat dari bahan yang mudah kering dan tidak
cepat bau asalkan tidak pipis dicelana. Seperti waktu kecil dulu, kala hujan
begini paling suka lari marathon bersama teman-teman. Dan saat ingin pipis ya
pipis saja di celana. Bila hujan cukup deras pipis yang keluar tidak akan
tampak.
Aku melewati sebuah rumah sakit.
Di seberang jalan terdapat ini market. Langit mulai sore dan masih gerimis.
Memang tidak bisa dipungkiri, belanja murah adalah salah satu cara bertahan
dalam backpacking. Sebotol besar air minum merek lokal tidak sampai tiga ribu
rupiah. Aku membeli minum dan sebatang coklat. Sampai di sebuah pertigaan,
jalan menuju Cisarua membelok ke kanan. Badanku sudah basah semua oleh gerimis
yang tak kunjung reda. Badan jalan ini tidak begitu lebar, jatah utuk pejalan
kaki hampir tidak ada. Artinya, jika ingin terus berjalan aku harus melawi
rumput-rumput di pinggir jalan beraspal. Tidak ada bayangan sama sekali berapa
kilometer jarak yang harus aku tempuh dan lagi jalanan mulai menanjak. Rasa
lelah yang menyelimuti badan membuatku angkat tangan. Akhirnya aku mencegak
angkot yang kebetulan melintas. Kurang lebih satu jam aku di dalam angkot ini.
Setelah melewati Taman Safari Cisarua, angkot terus menanjak ke atas menuju
kawasan puncak di Cibodas. Di sepanjang jalan banyak kujumpai tulisan Villa
Kamar.
Angkot menurunkanku di sebuah
pertigaan samping plang bertuliskan Kebun Raya Cibodas 4 Km. Dari arah Kebun
Raya Cibodas meluncur angkot warna kuning gading bertuliskan Cianjur belok
kanan setelah melewati plang, atau belok kiri jika dilihat dari posisiku di
sebrang jalan. Sudah lama aku merindukan diterpa dinginnya hawa pegunungan.
Seorang sopir angkot memanggil-manggil ku. Awalnya aku ingin jalan kaki namun
rupanya pegal-pegal dikaki masih belum reda. Untuk 4 km ini aku mengeluarkan Rp
4000, agak mahal memang bila dibandingkan dengan angkot dari Lebak Bulus -
Bintaro, yang dengan bayaran yang sama menepuh kurang lebih 20 km. Maklum lah
tempat wisata. Tidak setiap hari ramai dikunjungi orang sedangkan jumlah yang
harus disetor sudah pasti.
Tiga orang penjaga Taman duduk sambil merokok di gardu. Mereka bertanya
dengan nada keheranan melihatku sendirian saja. Aku juga keheranan ditanya
begitu, memangnya kenapa kalau sendirian ? Peraturan bagi pendaki gunung yang
ingin ke puncak Gunung Pangrango, minimal 3 orang, dan mendaftar minimal 3 hari
sebelumnya, penjelasan dari salah seorang penjaga itu. Bila sendirian enggak
boleh ke puncak! Aku berpapasan dengan dua bule perempuan yang nampaknya
selesai naik dari puncak. Kami hampir tabrakan di jalan yang lebarnya hanya
semeteran ini. Mereka jalannya menunduk terus, padahal aku sudah mengeluarkan
suara “Excuss me madam.” Mereka meminta maaf sambil senyum-senyum. Kalau sampai
terjadi, barangkali kepalaku akan membentur dada-nya, badan mereka
tinggi-tinggi.
Aku belok kearah taman.
Gerbangnya dijaga seorang bapak-bapak yang kira-kira berusia 50 tahun. Langit
kembali gerimis. Beliau mempersilahkan aku masuk gardunya. Pak Ade, begitu ia
disapa. Pria ini kelahiran Garut, ayah dari 2 putra dan 1 putri. Puteranya yang
sulung belum lama diwisuda dari Universitas Tirtayasa, Cilegon. Beliau duduk di
kursi, aku duduk ditikar jadi persis raja ngobrol sama babunya. Beliau harus tetap
menjalankan tugas mengawasi yang lewat, kalau sama-sama duduk ditikar bisa
tidak kelihatan. Pak Ade berkali-kali meminta maaf karena tidak bisa
menyuguhkan apa-apa. Aku juga, dalam hati, berkali-kali meminta maaf tidak mau
menyuguhkan apa-apa karena bisa disangka sogokan. Suasana sudah mulai gelap
saat gerimis mulai reda. Mengingat sudah hampir malam, beliau menawarkan untuk
menginap di rumahnya yang tidak jauh dari sini. Sejujurnya aku juga ingin
menerima tawaran beliau yang baik hati ini, namun aku belum ingin tidur. Aku
masih ingin melihat-lihat sekitar. Kami bertukar nomer hp kemudian beliau
member izin masuk gratis sampai gerbang ditutup pukul 8 malam.
Saat gerbang akan dikunci,
suasana sudah sangat gelap sampai-sampai aku mengeluarkan senter kecil untuk
menerangi jalan. Aku turun mencari-cari mushola untuk merebus air. Saat minuman
hangat sudah siap saji, tiba-tiba terdengar bunyi adzan Isya dan anak-anak
serta orang-orang tua berbondong-bondong datang untuk menunaikan sholat. Aku
jadi serba salah saat anak-anak kecil ini berkerumun melihatku menyendoki
sereal yang masih panas. Selesai sholat, imam mushola menghampiriku. Beliau
menawariku untuk menginap gratis di kediamannya. Aku menolak. Beliau
meyakinkanku bahwa di sini dingin. Aku bawa selimut. Beliau meyakinkanku bahwa
di sini kurang aman. Aku mulai takut.
Beliau bernama Bapak Sjahroedin
atau Syafrudin, kurang begitu jelas saat mendengarnya karena sambil menaiki
motor tua yang mesinnya menjerit-jerit tak karuan. Kami memasuki areal parkir
yang luas. Di pinggir berderet warung-warung makan. Kami menuju sebuah warung
yang di depannya tampak dua bus besar sedang diparkir. Istrinya menyambutku
dengan ramah dan menyuguhi wedang teh panas. Aku diberi sebuah kamar berlantai
kayu yang dilapisi karpet. Sebuah kasur dengan bantal dan selimut yang terlipat
rapi. Tampak 4 orang yang sepertinya sopir dan kenek bus tadi sedang
pijit-pijitan di ruang tengah. Aku tersenyum dan menyapa mereka. Mereka
membalas dengan terseyum dan menyapa ku. Hari ini sungguh pengalaman yang baru. Belum
apa-apa aku sudah ditolong dua Bapak yang baru kukenal.
1 komentar :
kisah lainnya yg amazing
Posting Komentar