Rabu, 15 Agustus 2012

[b] Gravitasi Lain #3

Cipanas, 2 November 2011. Terlihat genangan air di pelataran mushola. Rupanya semalam telah turun hujan. Seperti biasa, udara dini hari ini terasa dingin apalagi semalam telah turun hujan. Aku mengenakan jaket yang sudah tidak bisa dibilang wangi. Berkali-kali telah basah oleh hujan - hujan dari langit dan hujan keringat - lalu kering sendiri, oleh matahari, oleh panas badan. Entah apa jadinya aku seandainya tidak ditolong bapak sialan tadi malam? Pagi ini, aku pulangkan semua umpatan-umpatan tadi malam. Bagaimanapun juga, meskipun dengan gusar, beliau rela menampung gembel sial ini. Rasanya aku ingin memeluk beliau, mengucapkan banyak-banyak terimakasih… Tapi tak kulakukan. Entahlah, ada sesuatu yang mengganjal di sini. Barangkali ini juga yang mengganjal beliau selama beberapa saat tadi malam. Rasanya ini bukanlah mushola. Ini hanyalah rumah yang bertampang mushola. 


Orang-orang mulai tampak melintas. Melangkah dalam diam. Pelan tapi pasti. Bergegas ke sekolah, ke pasar, ke kantor, membuatku merindu pada hari-hariku yang dulu. Aku melihat ada sesuatu yang sedang diperjuangkan di sana. Setiap langkah-langkah itu memiliki arti. Suatu ketika, pada langkah yang kesekian, ia akan sampai. Seperti dulu. Dulu disini berarti empat hari yang lalu. Barangkali sudah ribuan langkah, turun-naik dari lantai tiga ke lantai dua, bolak-balik untuk foto kopi latihan soal dan menjelaskan materi. Langkah-langkah itu kemudian mengantarku sampai disini. Jawaban yang sungguh tak terduga: backpacker. Hehehe, sungguh, aku pun masih merasa asing dengan diriku yang sekarang. Lamunanku dibuyarkan oleh perut yang mulai terasa lapar minta diisi sesuatu yang hangat. Beberapa puluh menit berlalu dan aku hanya duduk terbengong-bengong. Gabungan antara pagi yang dingin, jalanan yang basah, cuaca yang mendung, jauh dari rumah, lapar, jaket kotor, sendirian, ditengah antah berantah bisa membuatmu mengadili diri sendiri secara tidak bijaksana. 


Dengan sedikit malas, aku beranjak turun. Tidak lama kemudian aku sampai di pasar tradisional Cipanas yang rupanya bersebalahan dengan Istana Cipanas. Semalam suasana sangat gelap hingga aku tidak menyadari keberadaan Istana sebesar ini ? Orang-orang sibuk berjualan. Di belakang istana, berdiri masjid agung. Beberapa orang sedang mengaduk semen di pelatarannya. Sedang ada sedikit perbaikan. Aku menyandarkan backpack di tiang pojok serambi masjid. Aku duduk sambil menikmati sarapan pagi, beberapa buah gorengan hangat dan lemper. Antara masjid dan Istana mengalir sungai kecil yang jernih. Sebuah jembatan yang juga kecil berpagar besi dan dirambati tanaman menjalar menyebrang di atas sungai itu. Dihadapkan tajuk seperti ini, rasanya ingin bikin puisi. Perlahan-lahan aku merasakan bukit-bukit berubah menjadi dataran tanpa intensitas, rata, tanpa kobaran, tanpa kekawatiran, tanpa gejolak, tanpa rasa, setatis. Seumpama hukum Newton, aku terkena kutukan hukumnya yang ke-I mengenai gaya tarik menarik yang seimbang. Ingin melanjutkan perjalanan tapi juga ingin disini. Gamang. Aku yang sedari pagi memang sudah diam, naik kelas jadi membisu. Aku tertidur menyandar pada backpack. 


Entah kenapa setelah makan biasanya aku mengantuk. Walau untuk lima menit, aku perlu rebahan sejenak. Teringat seorang bapak, kawan ngajiku dulu di kampus pernah bilang aku terkena penyakit ular ? Habis makan mengantuk. Aku terperanjat mendengarnya dan ia malah tertawa lebar melihatku begitu. Rasa haus dan kering di tenggorokan membuatku terbangun. Aku melihat tanda batrei hp belum juga berhenti memompa. Di dibelakang backpack, tak sengaja aku menemukan terminal listrik. Lalu ku pasang cherger untuk mengisi bateri hp yang sudah sekarat ini. 

Satu jam kemudian, baterai sudah lumayan terisi. Aku beranjak meninggalkan masjid Istana Cipanas. Di sebuah perempatan aku berbelok ke kiri menyusuri trotoar. Jalanan ini dipenuhi angkot warna biru dan kuning dan sesekali bus dan truk. Cuaca masih agak mendung. Di sebuah pertigaan, aku melihat plang agen pengiriman barang. Seorang pria berkulit cerah dengan suaranya yang lemah gemulai mempersilahkan aku masuk. Suaranya benar-benar lemah gemulai dengan aksen Jawa. Di dalam rumah berjajar baju-baju pengantin dalam bungkus plastik, kaca rias yang besar dan pakaian-pakaian dalam karung plastik. Aku menyerahkan kardus kecil yang beberapa saat lalu aku minta di sebuah warung, kemudian aku isi baju-baju kotor dan oleh-oleh dari Cibodas. Pakaian – pakaian kotor itu terpaksa aku ikut sertakan karena sulit sekali menemukan laundry yang bisa langsung cuci pakai. Semua yang aku temui mengatakan harus menunggu tiga hari. Aku sisakan pakaian yang mudah di cuci, mudah kering atau yang bila perlu tidak sayang jika dibuang. Jumat nanti, Prisillia Restantina Rosidi, keponakanku, akan berulang tahun. Jadi ini kado sekaligus titipan cucian. 





Aku memberanikan diri memasuki jalanan yang tampaknya akan mengarahkan ku ke pedesaan. Beberapa ratus meter kemudain, perutku terasa sangat mulas. Aku tahan-tahan sampai melihat mushola kecil. Aku menepi. Toiletnya tak beratap dan hanya dikelilingi pagar setinggi dada. Saluran pembuangannya langsung menuju selokan besar dibawahnya. Seperti toilet di kereta api, bila kita intip ke bawah, salurannya adalah jalan berbatu. Tampaknya aku sudah tidak kuat. Di antara semua rasa, rasa mulas lah yang paling tidak bisa ditunda. 


Ku perhatikan semua pakaian yang kini akan aku kenakan sudah sangat tidak nyaman. Lengket dan asem. Khususnya celana ini. Sudah empat hari empat malam aku pakai terus. Umunya, jika cuaca cukup dingin, daya penciuman orang-orang menurun. Jika cuaca cukup panas, bau asem pakaian menurun. Teori ketiga, tampaknya indra penciuman kita bekerja berdasarkan diferensial aroma. Contohnya sebelum mandi, kita tak begitu merasa bahwa pakaian yang dikenakan sudah parah baunya, setelah mandi, coba deh cium lagi? Karena cuaca saat ini tidak lagi mendung ataupun panas menyengat, maka lonjakan diferensial aroma yang cukup besar lah penyebabnya. Konsekuensi teori ini, para gembel yang sudah berbulan-bulan tak mandi itu, belum tentu merasa dirinya bau. Untuk menyadarkannya kita perlu membawanya ke tukang cuci motor. 


Sebelum tengah hari, aku sudah memasuki desa Cibadak, kecamatan Sukaresmi. Tampak empat atau lima orang Ibu sedang menunggui anak-anaknya di depan gerbang sekolah dasar sambil mengobrol. Di sebuah tanah lapang, seekor anjing tampak sedang bermain-main dengan anak-anaknya. Aku berhenti disebuah warnet. Seorang anak laki-laki kecil, gemuk, berpakaian warna telur bebek menghampiriku. Menanyakan isi tasku, menayakan dimana papanya ? 



“Ini apa ?” tanya anak itu, 

“Itu tas,” jawabku 

“Mana papa ?”, “Ke mana papa?” 

“Ke depan sana!” jawabku asal saja. 

“Ini Aa’,” katanya lagi, barangkali ia sedang memperkenalkan diri. “Mana Papa ?” tanyanya lagi. 

“Papa pergi jauuuh!” Kataku sambil menunjuk jalan, agar is sedih, putus asa dan menangis. 


Tak lama kemudian seorang laki-laki tinggi besar datang dari jalan menghampiri anak kecil ini. “Aa’, om nya jangan digangguin,” katanya sambil berlalu masuk ke dalam rumah. Si Aa’ mengejar papanya masuk ke dalam rumah. Aku masuk ke dalam warnet. Aku memposting beberapa foto dari Cibodas ke grup facebook bernama Hitch Hikers. Grup ini beranggotakan 28 orang yang tersebar di Jawa, Sumatra dan Malaysia. Semacam kolam pengetahuan dan forum silaturahmi antar traveler. 


Suasana sudah mulai sore dan gerimis. Sambil kehujanan aku berjalan menuju tukang bubur ayam. Dalam waktu yang singkat aku sudah melahap dua mangkok. Hujan semakin deras. Aku mencegat angkot yang lewat menuju Istana Cipanas. Kembali lagi, karena semua kendaraan kemanapun berkumpulnya di sana. Kamar mandi di Masjid Istana Cipanas lumayan bersih dan terawat dengan baik. Seorang penjaga tersenyum padaku. Aku menitipkan backpack lalu mandi. Air tersedia sangat melimpah dan bersih. Sebagian kran dibuka terus menerus untuk membasahi lantai. “Hati-hati barang bawaanya mas, sandal-sendalnya,” kata bapak penjaga sebelum aku beranjak pergi. Badan terasa segar setelah mandi. Aku duduk di dalam masjid menunggu magrib. Suasana sore sangat tenang. Hanya ada aku dan beberapa laki-laki sedang duduk dan berbincang-bincang. 


Malam hari, aku merasa sedikit risau bila mengingat kejadian kemarin malam. 

Aku belum mau pulang, tapi kemankah tujuan selanjutnya ? Apa yang aku cari sebetulnya ?

Aku melanjutkan perjalanan setelah tak lupa meninggalkan kenang-kenangan manis. Buku 100 Lokasi Wisata Kuliner di Bogor dan sandal. Jika buku itu sengaja aku letakkan di kotak amal, sendalku tiba-tiba melenyapkan diri? Aku kemudian mengenakan sepatu. 


Aku mencegat angkota warna biru tua yang melaju menuju Cianjur. Hanya ada aku dan seorang wanita sebagai penumpang. Angkot melaju cukup kencang, beberapa kali jalan zig-zag, kami terbanting-banting. Sopir edan itu menyetir sambil mengatur tombol musik. Kami diturunkan di sebuah pasar. Toko-toko masih marak berjualan. Seperti biasa, aku bingung. Aku berjalan menyusuri trotoar. Toko-toko sudah tutup. Dinding-dinding toko banyak dicorat-coret dengan cat pilok. “By: GZPH.” Barangkali kawan ada yang mengerti maksud kata-kata tersebut ? 




Terdengar raungan motor melintas, para pembalap liar. Selain itu suasana sudah sangat sepi. Beberapa penjual makanan dengan gerobak duduk menanti pembali. Aku lapar tapi tak ingin makan. Entahlah kawan, sistem metabolismeku sedang kacau. Setelah melewati dua perempatan akhirnya aku berbelok ke kanan, sesuai petunjuk orang-orang. Aku kembali mencari masjid agung untuk menggelar sleeping bag. Tampak seorang tua tidur di trotoar dengan nyaman? Akankan aku bernasib sama dengan beliau? Atau aku ikut bergabung saja dengan beliau? Tak berapa lama aku menemukan bangunan megah itu. Pintu luarnya belum dikunci. Aku menyelinap masuk. Tapi sial, semua pintu ke dalam sudah dikunci rapat-ratap. Aku menaiki tangga ke lantai 2, barangkali di atas belum dikunci ? Ternyata dikunci juga. Yeah, akhirnya aku menemukan teras kecil di samping masjid. Dari sini posisiku agak terlindung jika dilihat dari jalan raya. Aku mencium bau pesing ? Apakah ini pintu menuju wc ? Great. Satu jam, dua jam, mataku masih belum bisa terpejam. Seorang tukang becak berteriak-teriak, “hoei .. mau dianterin ke terminal ? Hoe .. mau dianterin ke terminal yoh?” Menyebalkan sekali. Ssstt please don’t give my position! Lama-lama akhirnya si tukang becak itu akhirnya terdiam sendiri. Peacefull night. 

Tidak ada komentar :