Rabu, 27 Februari 2013

[cerpen] Arindi Sasmita


Kisah berikut ini bersifat fiksi (khayal). Apabila terdapat kesamaan karakter atau nama tokoh dan lokasi kejadian, hal tersebut semata-mata hanyalah kebetulan kosmis belaka.


Arindi Sasmita, pertemuanku dengannya sebenarnya agak mustahil terjadi di abad 21 ini. Sungguh kuno dan norak. Sore itu, angin muson barat bertiup dengan kencangnya dan menampar 12 jendela kayu rumahku (halah!). Baik lah, begini kisahnya. Sore itu, pengeras suara dari arah mushola mengakabarkan kematian seorang warga desa. Tetangga satu desa kami telah berpulang ke Rahmatulloh. Beliau wafat di usia ke-47 ,2 tahun, meninggalkan seorang istri yang masih cukup muda dan seorang anak laki-laki berusia 10 tahun.


Tiga jam kemudian, saat kami sedang makan malam, ibunda mulai ber-pidato. Malam itu, raut muka beliau tampak berkerut-kerut dan memancarkan aura menyeramkan. 

"Nak, ibu ingin menceritakan sebuah rahasia berkenaan dengan wafatnya Bapak Murdock." 

Deg! Kenapa ? Ada apa ? Aku keheranan. 

"Rahasia apa bu ?", tanyaku penasaran. Demi mendengar kata "rahasia" itu bulu hidungku merinding. Aku seperti terlempar ke jaman saat dimana ayah dan ibuku masih remaja dan dikejar-kejar pasukan Penjajah karena menyembunyikan surat rahasia negara. 

"Sebelumnya, ibu mau tanya, apa kamu sudah punya pacar ?" (gubrakkk) 

Tidak ada angin-tidak ada hujan-tidak ada petir, kenapa ibu bicara seperti ini ? 

"Tidak, memang kenapa bu ?" jawabku ringan dan santai.



"Ibu lihat, kamu masih jomblo ?" 

Hampir saja sendok ini tertelan. Dari mana beliau dapat istilah semodern "Jomblo' ini coba ?Apa jaman Majapahit dulu sudah mengenal istilah jomblo ? Terbayang saat itu ayah dan ibuku masih jomblo lalu saling curi-curi pandang, hehehe. Norax ! 

"Ng ... saat sekarang siy, aku memang belum mau pacaran bu ? Kenapa tiba-tiba ibu bicara seperti ini ? 

"Ibu lihat kamu sekarang sudah besar, sudah bisa jaga diri, sudah berpenghasilan cukup ..." 

"Setidaknya kamu punya punya pandangan untuk pendamping hidup ..." 

"Ea .. kalu temen wanita, ada beberapa siy bu yang akrab, tapi ... 

Aku bingung menyusun kata-kata yang pas ... 

"Tapi, ya masih pingin sahabatan saja .. gitu bu ;)" 

Teringat dulu ayahku melamar ibu saat usia 17 tahun dan ibu 14 tahun, sedangkan kini aku malah sudah 28 tahun 11 bulan 27 hari, 8 jam dan masih jomblo. Ya, dulu kan tidak ada games, tidak ada internet, tidak ada software yang seru, tidak ada banyak film action untuk ditonton seperti sekarang, buku saja masih jarang, jadi ya wajar, daripada bete mending menikah saja. hehehe. Tapi apa ibuku akan mengerti semua alasan ini ? 


"Ibu sudah punya kandidat untukmu, besok pagi temani ibu melayat almarhum Bapak Murdock, nanti ibu kenalin ... " 

Busett ! Apa-apan ini ? Kenapa jadi serius begini ? 

"Tapi bu...bagaimana kalau, kalau-kalu .. (masih suka ngompol dan kemana-mana bawa boneka hello kitty, misalnya) ?" , aku memprotes. 

Beliau bersikeras memaksaku ikut melayat. Tak seperti biasanya ibu memaksa begitu? 

"Makanya, dilihat dulu, belum apa-apa sudah kalau-kalau saja ?", Ibu menegaskan. 

What the .... ? "Ng, iya deh " jawabku pasrah. 

Beliau membaca kecemasanku. 

"Ibu janji, ini pertemuan biasa, tanpa ada konsekuensi apapun." 

Oh. Aku sedikit lebih tenang. 


Rupanya, selama ini, diam-diam, saat pergi belanja sayur seperti biasa di pasar pagi, ibuku menjalin konspirasi dengan seorang ibu sesama aktivis pasar pagi. Konspirasi ini membuahkan kesepakatan rahasia yang hanya diketahui oleh mereka berdua. 


Pagi hari menjelang siang. Suasana duka menyelimuti kediaman Bapak Murdock almarhum. Anaknya yang berusia 10 tahun terkulai lemas di kamar. Ia sedang terkena sakit tipes. Sedangkan ibunya, membantu menyiapkan makanan untuk para pelayat. 


Kadang, situasi semacam ini membuatku bertanya-tanya ? Bukankah sebaiknya ia mendapat ruang untuk berkabung ? Bukankah tidak mudah melepas seseorang yang teramat sangat dicintai ? Entahkan, barangkali ia tetap bisa berkabung, dalam lubuk hatinya yang terdalam, tanpa harus duduk dan menangis di hadapan para hadirin. Justru di hatinya barangkali, karena hati selalu menghadap ke Tuhan, ia bisa menangis dengan nyaman di sana. Entahlah, sepertinya aku hanyut dalam suasana duka sampai melupakan misi yang sesungguhnya. 




Tiba-tiba, ibuku menyapa seseorang, 

"Bu Sri, apa kabarnya ..." sapa ibuku dengan akrab pada seorang ibu-ibu paruh baya itu. 

"Alhamdulilah, Ibu Siti, masih dikarunia sehat ..." Jawab ibu itu tak kalah gembiranya. 

Hemm .. kompak nih sesama absensi S. Jangan-jangan ntar juga sesama absensi A ? 

Di samping ibu itu berdiri wanita dengan tinggi sebahuku, matanya bulat dan berseri-seri, rambutnya lurus sepinggang, wajahnya hitam manis, mengenakan jaket kain warna coklat tua, rok panjang hitam dan selendang hitam di kepala. Buset, masih ABG begitu. 

Ia menoleh ke arahku kemudian tersenyum ramah. 

Ealah, senyumnya manis juga lho. 

Ditengah puluhan rombongan pelayat, yang sebagian besar duduk bersila di atas karpet dan melantunkan doa-doa ini, aku mengulurkan tangan. 

"Eh, aku Andri ..." 

"Arindi ..." Sambil menjabat tanganku dan masih tetap dengan senyumnya yang manis dan natural. 

Aku kaget, rasanya seperti menyentuh sesuatu yang sakral dan tak seharusnya dilakukan. Membuatku sedikit menyesal, namun saat tanganya tak memberontak begitu, aku merasa seperti--kata Optimus Prime: Permission Granted ! hehehehe 

"APA ?" Aku tak percaya barusan mendengar kata Amfibi. 

"Hihi ..." dia tertawa sedikit memperlihatkan celah-celah giginya yang lucu saat melihat sandal jepit yang ku kenakan. 

"Aa-Rin-Dii", kedua bola matanya menatap ke kedua bola mataku. 

Deg

"Ho, Arindiii, apa kabarnya ?, aku sok akrab. 

"Baik, kau bagaimana ?" 

Sambil tersenyum salah tingkah aku menjawab: "Aku orang baik-baik, eh ?" 

*** 

Aku sendiri kesulitan mendeskripsikan diriku ini bagaimana ? Mari sama-sama kita mendengarkan apa kata mereka : sewaktu SD, teman-teman memanggilku Beong yaitu anak kodok yang baru menetas. Di SMP dijuluki Jemblung alias si gembrot yang amit-amit. Mendengar teman-teman memanggilku jemblung, seketika aku merasa seperti buntelan nasi warteg ? Berrrenggggsek ! 



Sebetulnya, aku sama sekali tidak mengambil pusingkan dengan julukan-julukan itu. Sepertinya ini sudah menjadi watak dasar manusia Indonesia, bukan? Memanggil berdasarkan ciri tertentu atau sifat tertentu yang kental. Pelabelan ini bisa menceritakan banyak hal, tentang orang-orangnya, tentang lingkungan masyarakat mereka tinggal. Ketika seseorang mendapat julukan, seumpamanya Najis, bisa diduga rambutnya bau, badannya bau, bajunya juga bau karena keteknya bau, hahahahaha. Kalau sampai di panggil Kokak, ini adalah jenis katak yang paling besar badannya. Barangkali karena dia pernah tidak naik kelas sampai dua kali berturut-turut hingga badannya terlihat paling bongsor ? Atau setidaknya ia pernah berak di dalam kelas. 


Tapi, aku lebih suka menyebut diriku sendiri Tarzan karena menyukai gaya hidup yang merdekan dan natural. 

Live is short .. 

Just flow like a river .. 

Swim in the wind .. 

Laugh like a crazy .. 

Cry with the sunset .. 

Falling in love in every single breath .. 

I just wanna die in peace .. (halah) 


Julukan Tarzan ini pertamakali di tasbihkan oleh seseorang yang duduknya persis di depan bangku ku. Seseorang yang telah mewarnai hari-hariku di kelas 3IPA2 dengan canda dan berupa-rupa masalah. Seseorang yang selalu ikhlas memberikan contekan padaku. Beberapa waktu sebelum kami berpisah, ia berpesan, 

"Jangan takut, dimanapun kamu berada, jadilah Tarzan ..." 

Tidak tahu sejak kapan, seseorang pastilah sedang menyalakan radio FM nya, 



At first I was afraid …

I was petrified …

I kept thinking …
I could never live without you by my side …



Lagu ini membuat pesan teakhirnya begitu hidup. Ia menempel begitu saja tanpa bisa dilupakan. Belakangan aku tahu. Saat bertemu mahassiwa dari Alaska yang mahir sekali berguitar. Di depannya kunyayikan lagu itu, dengan terbata-bata. Tidak disangka ia langsung mengenali kalau itu sebangsa batuk berdahak. Ia kemudian mengajariku memainkan guitarnya. Cage – I Will Survive. Ini betul-betul pelajaran berharga bagiku. Seumur hidup akan aku ingat betul lagu ini. Pastilah ini suatu lagu perjuangan ? Eh 

*** 

Semakin pendek penggaris yang kita pakai untuk mengukur garis pantai, maka hasilnya akan semakin panjang. Gejala self copy ... ini disebut paradoks garis pantai. 

Oh, disebut paradoks karena yang kita ukur garis pantai yang sama namun hasilnya berbeda ... 

Seandainya terdapat seekor ikan lumba-lumba berenang di lautan, maka setets air dalam lautan itu memiliki lautan lagi lengkap dengan ikan lumba-lumba berenang yang setets air dalam setetes air laut itu, mengandung lautan lagi dengan lumba-lumba yang berenang ... Dunia di dalam dunia ... 

Hm ... menarik ! 

Aku melanjutkan membaca E-book pemberian kawan ini. 

Gejala self copy ini masuk dalam kelas fractal. Mereka belum memiliki aplikasi selain untuk alasan seni ... 

Ow. Seni ... ? 

Pikiranku terbang sesaat, teringat Arindi, tiga minggu yang lalu. Boleh dibilang, ia benda paling berseni sekaligus paling sakral yang pernah aku lihat. Bola matanya yang jernih menyimpan dipol-dipol magnet yang gigantis. Membuatku deep freeze. Celah-celah giginya yang lucu saat tersenyum ... Jabat tangnnya yang mengalirkan rasa aneh ...? Si hitam manis memiliki strange attractor yang bisa mengacau balaukan sistem tanpa diketahui titik sumbernya dan tanpa peringatan bahaya sebelumnya. 

Gawat ! Aku mulai setres. 


*** 

Akhir-akhir ini aku tak enak makan tak enak tidur. Pikiranku kacau seperti gelas keramik yang dibanting keras-keras. Waktu pelaksanaan tinggal beberapa minggu lagi tapi belum juga ada kabar ? Padahal aku tidak meminta funding support, kenapa belum juga ada kabar ? Tahun lalu aku sudah gagal, sebelumnya juga gagal. 

Aku membuka email. Eh ! 


Dear Andri, 



Application Approved. 
Up to date information about the program ... 
Letter of Acceptance can be downl ... 
Maria Jose Pacifico 
Activity Secretariat 
The Abdus Salam International Centre for Theoretical Physics (ICTP) 
(SMR 2340) Strada Costiera 11 
1-34151 Trieste, Italy 



Wohaaa .. Aku meloncat gembira !! Yes .. Yes .. Yes !!! Sudah lama aku mengincar konfrensi ini, "School and Conference in Dynamical Systems". Mumpung di selenggarakan di Indonesia. ICTP tak bisa di duga, dua tahun lalu konfrensi ini digelar di negeri asalnya Italy, kemudian tahun lalu di NUS , Singapore, namun siapa sangka sekarang malah di kampus IKIP Padang. YEEYY ! 

“Mbok-eeeee !!!” , aku keggirangan. 

Tiga minggu kemudian. Dam! Aku bangun kesiangan. Segera aku sambar handuk kecil dan bergegas ke kamar mandi kostan. Tanpa mempedulikan dinginya air mandi aku langsung mengguyur seluruh badan. Aku menyambar tas notebook dan buku catatan. Limabelas menit kemudian aku sudah sampai dipelataran kampus diantarkan tuc-tuc, sebangsa ojek gendong khas Padang. Pukul 7.14 WIB. Masih ada waktu 16 menit untuk registrasi. Orang-orang sudah berkerumun ramai. Tuh, kan, beberapa mengenakan celana pendek dan kaos oblong ? Kebanyakan memang bule. 


Enam mahasiswa duduk dibangku recepconis, kalau yang ini made in Indonesia. Aku menyerahkan Letter of Acceptance pada salah seorang receptionis yang ... ASTagaaaa !!! 

“ARINN ??? “ 

Aku memekik tertahan. Orang-orang Eurasia di sekeliling menatap sekilas, kemudian kembali melanjutkan obrolan. Aku kaget bukan main. Sungguh norak betul. Beberapa detik aku kembali tak berkutik, deep freeze. Yang kuhadapi sekarang gadis hitam manis dengan celah-celah gigi lucu dan bermata sebening nutrijell ... 

“Hei, kau ikut confrence rupanya ..”, ia menyapaku seraya tersentum manis. Semanis gula kelapa. Oh, aku lumpuh ... 

May Day .. May Day ... Any black hawk down .. Any lack hawk down ... 

Tiba-tiba aku berkeringat dingin ... 

“Eh, Iya .. kau kuliah di sini ?”, tanyaku seperti tak percaya dengan apa yang aku lihat. 

Ia menganguk, bola matanya menatap ku. Tatapan yang ramah. Menit-menit berlalu, tak sadar beberapa orang mengantri di belakangku. Di dalam Aula, ratusan orang dari berbagai suku bangsa sudah berkumpul untuk opening ceremony. 

Arin mencatat nomer registrasiku dan membumbuhkan stempel receip. Aku kawartir apakah nanti bisa bertemu dengannya lagi atau tidak ? Dengan mengumpul-ngumpulkan keberanian, aku katakan padanya, 

“Boleh aku minta nomer hp nya ?” 

Ia kembali tersenyum manis seraya menyerahkan seminar kit. Senyum of acceptance

Mr Stefano Luzzatto melangkah ke podium. Beliau director program ini. Tampangnya kurus, rambutnya kriting dan botak setengah di depan, mengenakan setelan jas warna coklat muda, dengan kemeja putih. Aku tidak begitu paham apa yang baliau katakan. Sepertinya bicara tentang visi dan misi atau susunan acara ? Aku melihat banyak juga orang Indonesia di sini. Beberapa diantaranya sudah menggunakan kursi roda. Aula kampus ini berbentuk lingkaran dengan diding berwarna coklat terang. Susunan tempat duduknya seperti di bioskop. Bedanya, kalau di sini, depan kita adalah bangku menja warna telur bebek dengan terminal listrik di bawhanya. Di depan kita podium dengan papan tulis dan sebuah layar tancap. 

Seminar berlangsung sampai pukul 13.00 WIB. Aku menuju warungs. Aku mengirim sms ke Arin. 

“Arin, lagi di mana ? Kau sudah makan ?”, sms dikirim 

Sms balasan diterima 

“Iya, aku juga di kafetaria, di warungs-nya bu Amin. Yang depannya ada tulisan nasi bakar” 

“Okey, aku ke sana ya?”, sms dikirim 

“Iya ...”, sms diterima 

Aku berjalan kesana-kemari mencari-cari warungs nya bu Amin, 

Kulihat, sesosok wanita berambut hitam mengenakan almamater biru, astaga, didepannya ada seorang laki-laki tampan dan atletis sedang duduk sambil mengobrol dengan Arin. Tenang boi, tenang, barangkali itu tipuan kamera atau hasil olah photoshop ? 

“Hey .. “, aku menyapa. 

“Andri, kenalin ini Dony ...”

"Siapa ?", Dogy ? Seeokor lalat menguing dekat sekali dengan kuping tepat saat Arin menyebutkan nama temannya itu ?

Lelaki itu tersingging ?

"Dony:, jawabnya ketus !

Kali ini piring-piring sedang pada berjatuhan tepat saat pria itu mengenalkan dirinya.

"Lha iya, DOGY kan ?"

Mukanya memerah menahan emosi,  bukan DoGY, tapi DONY.

"Oh, Dony ... hai, Dony, aku Andri, temen satu desa Arin.” Aku mengulurkan tangan ke Dony. 

“Iya mas, apa kabar?” sapa Dony dengan kesal seraya menjabat tanganku. 

Arin buru-buru menengahi (berdiri di tengah-tengah antara aku dan Dony)

“Ndri, kamu pingin makan apa ? Eh kamu kapan nyampenya sini, hihihi ?” 

“Eh, ya, apa aja boleh, sampai sini Jumat kemarin.” 

“Aku pesenin nasi bakar ya, enak lo masakan Bu Amin” 

“Ya deh, tapi jangan gosong-gosong ya....” 

“Buk, nasi bakar dua baskom, Doni kamu pingin makan apa ? 

“Samain aja deh”, katanya sambil tersenyum kecut. 

“Eh, nasi bakarnya tiga ya buk .. gosong juga gapapa “ 

“Minumnya kopi tiga ember....” 

“Iya mbak ..” suara dari dalam warung. 

“Kamu ini ya, ngagetin aja ...” 

“Hahaha .. kamu juga, kok tiba-tiba bisa ada di sana, ngomong-ngomong kamu jurusannya apa Rin ? 

“ Aku bantuin pembimbing ku, sekarang lagi tugas akhir ... tentang data mining ...” 

“Jurusan Ilmu Komputer ..hihihi” 

“Kamu ambil jurusa apa ?” 

“Ng, dulu sih jurusan Fisika, sekarang ga jelas nih, kayaknya udah banyak matematikanya sama komputasi dikit-dikit ...” 

“Oh ..” 

10 menit kemudian 

“Silakan mas, mbak,” seorang perempuan muda membawa nampan minuman. 

“PRANGG TARRR DUARRR !!! Tiba-tiba terdengar bunyi ember pecah. Kopi dengan jelaganya tumpak ke lantai. Sebagin sempat muncrat ke muka gue. Sialan !

“Eh, kenapa Don ?” tanya Arin 

“Enggak, salah megang ember .. Sori ya ...”, kata Dony memelas. 

“Ya, santai aja ... ga perlu gerogi, aku kan cowok”, kataku, menggoda dengan genit. Dony tersenyum serba salah. 

Tak berapa lama kemudian makanan datang. 

“Dony, kamu jurusan apa ?”, tanyaku, basa-basi. 

“Ini mas, teknik  perkapalan spesialis rakit bambu”. 

“Sama ya angkatannya sama Arin ...?” 

“Iya, Eh mas, dulu kuliah di mana ?” 

“Aku di UNTU, “, kataku berbohong. 

Konon, karena darah Kenya yang masih kental, mahasiswa UNTU terkenal berwatak keras, hobi nyopet, ngepet dan lebih suka bergesekan daripada musyawarh untuk mufakat. Semacam, "jangan senggol pantat gue atau bakal panuan pantat loe," begitulah. Aku sudah akan kembali ke Aula, saat Arin menghampiriku. Kulihat Dony sudah berpamitan entah mau kenana. 

”Eh, kemana Dony ?”, sebetunya aku males banget menanayakan makluk ga penting itu. Mau ngesot gaya kupu-kupu juga aku tak peduli. 

“Dia ada kuliah .. kelasnya di ujung sebrang sana ...” 

Kami berjalan ke Aula sebelah meyebelah. Kami saling membisu. Situasi semacam ini membuatku kembali deep freeze, entah dengan Arin ? 

“Ndri, nanti sore bisa kita pergi jalan-jalan, aku mau nyari CD TOEFL ?”, katanya memecah kebisuan. 

“Okey, iya, bisa,” kataku tanpa berfikir panjang. Untuk apa dipikirkan, jawaban untukmu akan selalu “ya”. 

Di akhir conference, kami mendapat 5 soal latihan dasar. Semacam pre-test untuk persiapan esok hari. Soal-soal mengenai bifurkasi. Sore itu itu aku mengobrak abrik e-book tentang bifurkasi sampai larut malam. Aku lupa, aku ada janji. Kulihat hp ku tercatat 50 panggilan tak terjawab dan 30 sms. 

“Ndri, nanti pukul 18.30 jangan lupa ya, aku tunggu di depan Tower PDAM“. 

“Ndri, kamu di mana ? Aku udah sejam nih nungguin, kok tefonku ga diangkat ?”. 

“Kamu sibuk ya? Ga jadi aja ya, aku pulang, udah malem ?” 

"Woi .. bales dong ..botak ..!!"

"Dasar jelek ..!"

"Jarang mandi ..."

..dst

Bujubuset, aku lupa. Sekarang sudah pukul 00.54 wib, aduh pasti udah tidur, dianya ? 


Pagi hari, aku mengisi absen di bagian recepcionist. Tak kulihat Arin di situ ? Wah, kemana dia ? Pikiranku kurang konsen saat Mr. Jairo Bochi, pembicara Brazil itu menerangkan materi stability sebuah persamaan kuadratik non central hipergeometrik ternormalisasi. Aku sangat tertekan dan terintimidasi. Kulihat rekan-rekan yang lain sangat khusyuk memperhatikan materi, aku jadi tak enak mau meng-sms Arin. Siang hari aku kembali ke warung bu Amin kemarin. Aha ! Kulihat Arin sednag duduk sendirian. Yes ! Simpanse nya ga ada. 

“Hey … “, kataku pelan 

“Sory, semalam hp aku matikan suaranya, aku lupa, semalam banyak PR” 

Ia memerhatikanku dengan wajah, seperti orang bersalah. 

“Iya kok, gapapa, Andri udah makan ? Biar aku pesenin ya ? 

Tumben ia menggunakan kata ganti orang kedua tunggal dengan “nama” biasanya, “kamu” ? 

“Eh, biar aku aja yang traktir, gantian, kemarin kan kamu yang bayar”, aku mana sudi bayarin makanan buat simpanse itu. 

10 menit yang diam. 

“Ng, Dony itu, temen aku … Kami tak ada apa-apa,” katanya, sambil tersenyum ke arahku. 

YESSS ! 


At first I was afraid …
I was petrified …
I kept thinking …
I could never live without you by my side …


Tamat 

1 komentar :

vanda mengatakan...

Ngakak ngikik ngukuk bacanya :D